Nationalgeographic.co.id—Di akhir Kekaisaran Romawi, pakaian merupakan simbol identitas, status, dan afiliasi budaya yang kuat. Ketika Kaisar Honorius naik takhta, dia membuat keputusan yang tampaknya aneh yaitu melarang penggunaan celana dalam sejarah Romawi kuno.
Bagi pengamat modern, keputusan seperti itu mungkin tampak sepele atau bahkan lucu. Saat itu, Kekaisaran Romawi Barat sedang bergulat dengan perselisihan internal dan ancaman eksternal. Di tengah situasi yang penuh gejolak ini, hal tersebut merupakan pernyataan politik dan budaya yang signifikan.
Pakaian dalam Sejarah Romawi Kuno
Jauh sebelum pemerintahan Honorius, pakaian Romawi telah berkembang sebagai cerminan nilai-nilai kekaisaran, struktur sosial, dan pengaruh budaya.
Toga, mungkin merupakan pakaian Romawi yang paling ikonik. Pakaian ini diperuntukkan bagi warga negara Romawi dan sering dipakai sebagai simbol status dan hak istimewa.
Desain penutupnya dan cara pemakaiannya yang spesifik menunjukkan posisi seseorang dalam masyarakat, dengan variasi yang menunjukkan segala hal mulai dari jabatan politik hingga duka.
Sebaliknya, wanita biasanya mengenakan stola, gaun panjang yang dikenakan di atas tunik. Hal ini mempunyai tanda feminitas dan kesopanan.
Ketika Kekaisaran Romawi berkembang, ia bersentuhan dengan berbagai budaya, yang masing-masing memiliki gaya berpakaian khasnya sendiri.
Interaksi ini menyebabkan masuknya unsur-unsur asing secara bertahap ke dalam busana dalam sejarah Romawi kuno.
Misalnya, sintesis gaya Helenistik menghasilkan penerapan chiton, sejenis tunik. Meskipun orang-orang Romawi terbuka untuk mengadopsi pakaian asing tertentu, mereka juga sangat sadar untuk mempertahankan identitas Romawi yang khas.
Keseimbangan antara keterbukaan terhadap pengaruh eksternal dan keinginan untuk melestarikan tradisi memicu kontroversi dan keputusan seputar pakaian pada masa Honorius.
Source | : | History |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR