"Di sana terdapat banyak pasokan dan buah. Saya melihat beberapa anggur dijual di bazar seberat delapan pon dengan harga dirham murah; buah delima merah dari Murcia tidak ada duanya di dunia; buah ara dan kacang almond diekspor dari Malaga dan kota tetangganya ke kawasan Timur dan Barat," tulisnya.
Tak hanya itu, dia juga mengamati sebuah mesjid dengan beberapa pohon jeruk Valencia yang manis. Di saat yang sama, dia juga menemukan kegiatan sosial, di mana para hakim dan beberapa warga mengumpulkan uang tebusan bagi para tawanan yang diserang tentara Kristen.
Granada, Saksi Pertemuan Pertama dengan Ibnu Juzayy
Selesai dari Malaga, dia berpindah ke kota Alhama yang merupakan kota kecil dengan permandian air panas. Setelah itu, dia sampai di Granada yang kala itu diperintah oleh Sultan Yusuf I.
Di dalam Granada, ada kawasan Alhambra yang kemudian dikenal sebagai salah satu kompleks pemukiman masyarakat yang ikonik. Kompleks ini terkenal lengkap dengan berbagai fasilitas umum bagi masyarakatnya.
Sekilas, Alhambra tampak seperti benteng kastil yang mengintimidasi. Namun, ada berbagai keindahan di dalamnya dengan air mancur yang indah, lantai dan lorong yang didekorasi, hingga desainnya yang menggunakan kaligrafi Arab dan ubin berwarna.
Meski tidak sempat bertemu langsung dengan sang sultan, Ibnu Batutah mendapatkan kiriman sekantong koin emas dari ibunya. Selama di Granada, dia menghabiskan waktu dengan tinggal bersama orang-orang Sufi dan bertemu sejumlah pemuka agama Islam.
Saat inilah, dia sempat bertemu dengan Ibnu Juzayy yang masih berusia 28 tahun. Kala itu, Ibnu Juzayy tinggal di rumah seorang hakim dan bekerja sebagai seorang penulis karya literatur.
Pada pertemuan pertama yang singkat, dia tertarik dengan cerita-cerita perjalanan Ibnu Batutah. Ketertarikan ini tampak saat dia menuliskan nama-nama orang populer yang ditemuinya.
Selesai dari Granada, Ibnu Batutah melanjutkan perjalanan kembali ke Maroko. Perjalanan ini melewati beberapa daerah seperti Hamma, Velez, Ceuta, dan Sale. Sayangnya, perjalanan yang berakhir di Marrakech ini harus beralih setelah wabah hitam menyerang kota tersebut pada 1350.
Setahun setelahnya, dia kembali pada 1351 di Fez yang merupakan ibukota baru Maroko. Selama beberapa waktu, dia menetap sejenak untuk belajar sekaligus menjadi hakim atau guru. Namun rencana ini perlahan teralihkan setelah Ibnu Batutah berencana untuk bertemu dengan Mansa Sulayman dari Mali.
Penulis | : | Laurensia Felise |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR