Nationalgeographic.co.id - Sebelum menjadi kemaharajaan, Kekaisaran Romawi pernah mengadopsi pemerintahan republik sejak 509 SM hingga 26 SM. Bentuk republik ini diadopsi setelah Servius Tullius, raja Romawi kuno, digulingkan akibat penyalahgunaan kekuasaan.
Pemimpin Republik Romawi disebut sebagai konsul. Tatanannya berlangsung secara demokratis dengan perwakilan oleh senat. Para senat akan memberikan masukan tentang peraturan pemerintahan, tata kota, dan kependudukan.
Senat menjadi satu-satunya badan pemerintahan republik hingga 494 SM. Kaum Plebeian atau kelas pekerja melakukan pemogokan. Aksi ini membuat pemerintah membentuk Dewan Pleb (Concilium Plebis).
Dewan Plebis memilih pejabatnya sendiri dan merancang peraturan yang harus dipatuhi kelas plebeian. Bahkan, Dewan Plebis memperoleh kekuasaan besar dengan menciptakan peraturan yang mengikat seluruh masyarakat Republik Romawi dalam sejarah kuno pada 287 SM.
Selain Dewan Plebis, pemerintah Republik Romawi dalam sejarah dunia kuno membentuk badan legislatif yang membuat undang-undang.
Badan pertama adalah Comita Centuriata yang berwenang mengesahkan UU, memilih hakim, merencanakan perang, pertimbangan ajuan banding, dan hubungan luar negeri.
Kemudian ada pula Comita Tributa, yakni Majelis Suku. Suku di sini bukanlah berdasarkan etnis, melainkan kondisi geografis, seperti tingkat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Indonesia. Majelis Suku hanya boleh diisi oleh laki-laki dewasa dan merdeka, bukan budak. Mereka akan membahas putusan legislatif tentang isu lokal.
Dengan adanya badan legislatif, dua konsul akan dipilih dan menjabat selama satu tahun sebagai kepala negara. Konsul ini akan memimpin senat dan memimpin kampanye militer. Konsul pertama Republik Romawi adalah Lucius Junius Brutus dan Lucius Tarquinius Collatinus.
Jatuhnya Republik Romawi
Republik Romawi hanya bertahan dua abad. Berbeda dengan kerajaan dan kekaisaran, republik akan runtuh akibat ancaman internal seperti perang saudara dan masalah politik. Itu pula yang terjadi pada Republik Romawi.
Dalam sejarah dunia kuno, Republik Romawi mengalami ancaman akibat permintaan kewarganegaraan dari suku-suku sekutu pada awal abad pertama SM. Selama ini, sekutu-sekutu Romawi kerap mengirimkan upeti dan menyediakan tentara, namun tidak dianggap sebagai warga negara, bagai sapi peras tanpa hak kewarganegaraan.
Ada alasan mengapa Republik Romawi enggan memberi kewarganegaraan suku-suku sekutu. Senat memperingatkan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, termasuk konsul, bahwa memberi kewarganegaraan akan berbahaya bagi tatanan negara.
Perang Sekutu pun pecah antara 91 dan 88 SM. Suku-suku sekutu menginginkan agar ada badan yang mewakili mereka di dalam pemerintahan Republik Romawi.
Ketika Julius Caesar menjadi konsul pada 59 SM, dia memulai pemerintahan diktator. Perlu diingat, diktator Republik Romawi berbeda dengan pengertian hari ini. Diktator masa Republik Romawi menerima kekuasaan penuh negara, mensubordinasikan hakim-hakim lainnya untuk penyelesaian masalah tertentu.
Seorang diktator masih di bawah kendali dan tanggung jawab para senat. Para Senat pun bisa memveto tindakan diktator dan menutut hukumannya setelah masa jabatannya usai.
Kembali lagi pada isu kewarganegaraan, Julius Caesar memberikan kewarganegaraan diberikan kepada suku-suku sekutu. Perluasan ini mencakup luar Italia seperti Spanyol dan Gaul yang membantunya dalam penaklukkan.
Julius Caesar, sebagai konsul memiliki tantangan secara politik. Dewan senat memilihnya kembali sebagai konsul pada 48 SM, dan terpilih lagi pada 46 SM. Yang terakhir ini, membuat Julius Caesar bisa menjadi diktator untuk 10 tahun berikutnya.
Alasan diktator lebih lama ini, menurut para ahli sejarah dunia kuno, berhubungan dengan keputusan mengenai kehormatan keilahian dan rencana pendewaan Julius Caesar sebagai Divus Iulius.
Kondisi ini runyam dalam sistem politik, terutama di ibukota Republik Romawi dalam sejarha dunia kuno. Marcus Tullius Cicero, penyair dan negarawan Romawi, mencatat adanya konspirasi para senat untuk menggulingkan pemerintahan. Gerakan ini dipimpin oleh senator Lucius Sergius Catilina.
Cicero juga meyakini bahwa Republik Romawi sedang mengalami kemunduran. Keresahan ini juga berhubungan dengan adanya triumvirat sejak 60 SM yang diisi oleh Julius Caesar, Pompey, dan Marcus Licinius Crassus.
Triumvirat ini retak, terutama ketegangan antara Caesar dan Pompey yang iri. Hal ini membuat pertikaian di antara keduanya. Pompey segera menyingkir ke Mesir. Namun, konspirasi pembunuhan Caesar semakin nyata. Hingga akhirnya, seperti yang diketahui umum dalam sejarah dunia kuno, pembunuhan terjadi di Teater Pomey Roma pada 44 SM.
Inilah babak akhir dari Republik Romawi. Kematian Julius Caesar menjadi awal kemunculan sistem Kekaisaran pada Romawi. Melihat konsul sepertinya adalah jabatan yang rentan, reformasi besar-besaran dilakukan oleh Augustus.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR