Nationalgeographic.co.id—Pertempuran Gaugamela merupakan pertempuran yang menentukan bagi masa depan Kekaisaran Persia yang dipimpin Darius III. Kekaisaran Persia harus bertemu dengan kekuatan Makedonia yang dipimpin Aleksander Agung pada 5 November 331 SM.
Berbagai kekuasaan Kekaisaran Persia telah terlepas oleh kekuatan Aleksander Agung yang masih muda. Sejak awal kampanyenya pada 334 SM sampai sebelum Pertempuran Gaugamela, raja muda Makedonia itu telah merebut Asia Kecil (Turki modern) dan Mesir.
Sumber kuno mengatakan bahwa Kekaisaran Persia berkekuatan 250 ribu hingga satu juta pasukan. Para ahli sejarah memperkirakan mungkin jumlahnya tidak lebih dari 120 ribu orang. Bagaimanapun, jumlah ini lebih banyak dibandingkan kekuatan Aleksander Agung yang berjumlah sekitar 40 ribu atau 50 ribu orang.
Bagaimana pun, sejarah Kekaisaran Persia terbukti goyah dalam perang ini. Aleksander Agung dengan pasukan yang lebih sedikit terbukti memenangkan pertempuran. Namun, bagaimana bisa rombongan yang telah melakukan perjalanan ekspedisi panjang bisa memenangkan pertempuran?
Mengumpulkan dukungan dari negeri yang dijajah Kekaisaran Persia
Kekaisaran Persia di bawah wangsa Akhemeniyah terbentang dari Asia Kecil, Mesir, Asia Tengah, dan Lembah Sungai Indus. Kekuasaan yang luas ini adalah tantangan bagi kedaulatan Kekaisaran Persia karena harus mengelola masyarakat dari berbagai budaya.
Sejak Aleksander memenangkan pertempuran di Sungai Granikos pada 334 SM, ia menguasai berbagai koloni Yunani yang dikuasai Kekaisaran Persia di Turki. Dia dianggap sebagai pahlawan pembebas dan menyerukan kota-kota tersebut turut mendukung ekspedisinya.
Setelah memenangi Pertempuran di Issos di Turki pada 333 SM, Aleksander terus bergerak ke selatan, menguasai Kota Tirus, rombongannya disambut di Mesir. Tidak sungkan-sungkan, masyarakat Mesir pun menobatkan Aleksander Agung sebagai firaun yang menjadikan negeri ini terlepas dari Kekaisaran Persia.
Sambutan ramah masyarakat Mesir terhadap Aleksander Agung bisa dimaklumi. Sosok raja muda ini tengah berjuang melawan Kekaisaran Persia yang dianggap sebagai penjajah oleh Mesir. Selama ini, Mesir adalah penghasil gandum dan upeti terbesar untuk Istana Persia di Babilonia.
Aleksander Agung sendiri mengapresiasi kebudayaan Mesir yang kaya, termasuk keagamaannya. Di Yunani kuno, Aleksander Agung dinobatkan sebagai putra Zeus, dewa tertinggi Yunani. Bagi orang Yunani, dewa dari negeri mana pun sebenarnya serupa tetapi hanya berbeda secara penyebutan.
Dewa tertinggi di Mesir adalah Amun yang diyakini sebagai leluhur para firaun. Aleksander Agung bahkan membuktikan dirinya sebagai putra Amun ketika mengunjungi Kuil Siwa di gurun Libya. Dengan demikian, kekuatan Mesir mendukungnya menaklukkan Kekaisaran Persia.
Fenomena alam yang membakar semangat
Sebelum bertempur melawan Kekaisaran Persia di Gaugamela, pasukan Aleksander Agung berkemah beberapa mil dari lokasi. Perjalanan dari Mesir ke Gaugamela sungguh berat. Darius III membumi hangus desa sekitar yang memotong suplai makanan Aleksander.
Pengintai Makedonia pun mengatakan bahwa jumlah pasukan Kekaisaran Persia sangat besar, satu juta orang. Kondisi ini sempat membuat psikologi pasukan Makedonia dan Yunani gentar.
Akan tetapi, fenomena alam terjadi sekitar 20-21 September 331 SM. Gerhana bulan menjadikan bulan berwarna merah darah. Bagi kebudayaan tertentu, gerahana bulan menjelang pertempuran menandakan petaka.
Namun, Aleksander Agung memberi semangat kepada pasukannya, gerhana tersebut adalah pertanda dari Semesta bahwa Darius III akan kalah dalam pertempuran. Belum lagi, Aleksander Agung adalah raja muda yang pandai beretorika dan sebelumnya telah menarik dukungan secara keagamaan di Mesir.
Siasat 'terkam ke jantung' ala Aleksander Agung
Sejak awal ekspedisi menuju Kekaisaran Persia, Aleksander Agung menciptakan taktik yang berbeda dari yang biasa dikenal oleh para jenderal Makedonia. Pegiat militer awalnya skeptis dengan taktik yang terkesan "sembrono" dan "nekat".
Salah satu yang paling berkesan dalam sejarah kampanye Aleksander Agung menghadapi Kekaisaran Persia adalah serangan yang menentukan. Bisa dibilang, serangan ini serupa "terkam ke jantung" lawan. Serangan ini sebenarnya sudah dilakukannya dalam pertempuran di Issos.
Baik di Issos dan Gaugamela, Darius III hadir memimpin dalam pertempuran. Dalam tradisi perang Kekaisaran Persia adalah jika raja diserang, maka otomatis pasukan akan kalah. Oleh karena itu, meski pasukannya berjumlah lebih sedikit, Aleksander Agung bertempur dengan memanfaatkan peluang kecepatan.
Di Issos, saat pasukannya terdesak, Aleksander memilih untuk menerobos pasukan pertahanan Kekaisaran Persia dan menyerang ke lini perlindungan Darius III. Serangan ini membuat Darius III melarikan diri. Konsekuensinya, pasukan Kekaisaran Persia yang berjumlah sekitar 50.000 hingga 60.000 orang juga harus ikut mundur.
Begitu pula di Gaugamela. Saat pertempuran dimulai, Aleksander Agung bersama pasukan yang dikomandonya bergerak ke kanan dengan sudut miring. Pasukan Kekaisaran Persia yang dipimpin Besos, segera bergerak menghadapi pasukan yang dibawa Aleksander Agung dan berupaya mengepungnya.
Namun, pasukan komando Besos ini bergerak semakin jauh ke kiri Persia dari pada posisi Aleksander. Hal ini membuat celah menuju bagian terdalam barisan serdadu Persia. Ahli sejarah percaya bahwa yang dilakukan Aleksander adalah tipuan agar Persia membuka barisan pertahanannya.
Celah itu segera dimanfaatkan Aleksander dan pasukannya sebagai irisan. Dengan cepat, Aleksander dan serdadu komandonya bergerak ke kiri, segera memberikan serangan kejut kepada baris pertahanan Darius III.
Darius III sempat mengirimkan barisan kereta perang ke barisan tengah Makedonia. Namun, kelompok pasukan ini lagi-lagi membuka barisan. Aleksander dan regunya semakin mendekati Darius III.
Aleksander segera melemparkan tombak ke arah Darius III. Walau meleset, serangan ini membuat Darius III harus melarikan diri, menganggap tidak ada lagi harapan untuk menang. Lagi-lagi, pasukan Kekaisaran Persia kehilangan komando pusat dan segera menghentikan perang.
Kejatuhan Kekaisaran Persia
Darius III lari ke Baktria, Asia Tengah. Sementara Aleksander Agung memiliki jalan mulus ke Babilonia. Dalam pelariannya, Darius III dibunuh oleh Besos, satrapnya sendiri. Berita ini sampai ke telinga Aleksander.
Bagi Aleksander, seharusnya kekalahan Darius III berada langsung di tangannya. Pembunuhan terhadap Darius III oleh Besos dianggap tindakan tercela. Aleksander segera memakamkan rivalnya dengan layak dan menghukum Besos. Aleksander pun menjadi diraja atas Persia. Kematian Darius III menandakan berakhirnya wangsa Akhemeniyah.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR