Pada akhir Desember 1944, ketika sejarah Perang Dunia II mencapai tahap klimaksnya, Hiroo Onoda dikirim ke Pulau Lubang di Filipina.
Dia dikirim dengan misi penting untuk mengganggu dan mengumpulkan intelijen mengenai operasi Sekutu.
Onoda, yang saat itu masih seorang letnan muda, tiba di pulau itu pada tanggal 26 Desember 1944.
Setibanya di sana, Onoda dengan cepat menilai situasinya. Pulau ini, meskipun relatif kecil, memiliki medan yang menantang berupa hutan lebat dan perbukitan terjal, ideal untuk taktik perang gerilya yang dilatihnya.
Perintahnya dia harus melakukan operasi gerilya dan tidak menyerah dalam keadaan apa pun.
Hutan lebat di Pulau Lubang memberikan perlindungan sekaligus tantangan. Onoda dan kelompoknya harus beradaptasi dengan lingkungan yang keras, mencari makanan dan air dari daratan, dan terus bergerak untuk menghindari pasukan musuh.
Mereka bertahan hidup dengan makan kelapa, pisang, dan buah-buahan lainnya, kadang-kadang ditambah dengan ternak curian dari peternakan setempat.
Ketidaktahuan Onoda atas Kekalahan Jepang
Pada awal tahun 1945, gelombang Perang Dunia II telah berbalik melawan Jepang. Pasukan Amerika mulai merebut kembali Filipina, termasuk mendarat di Pulau Lubang pada bulan Februari 1945.
Komunikasi dengan komando Jepang dibatasi dan akhirnya terhenti sama sekali. Kelompok tersebut telah diberi perintah tegas untuk tidak menyerah.
Jika tidak ada perintah langsung yang menyatakan sebaliknya, Onoda menafsirkan ini sebagai arahan untuk terus berperang.
Selebaran dan berita penyerahan Jepang pada bulan Agustus 1945 sampai kepada mereka, tetapi Onoda dan anak buahnya menganggap ini sebagai propaganda musuh, yang dirancang untuk memancing mereka keluar dari persembunyiannya.
Source | : | History Defined |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR