Nationalgeographic.co.id—Evolusi tulisan kuno muncul melalui upaya manusia untuk mencatat berbagai hal. Awalnya, hal ini muncul secara alami dalam konteks tujuan pragmatis, ekonomi, dan administratif, seperti pencatatan perpajakan atau nota penjualan.
Namun, menurut sejarawan Heather Reilly, tulisan juga berkembang untuk merekam dan melestarikan praktik-praktik kultus serta kepercayaan agama.
“Secara bertahap, keyakinan tumbuh bahwa kata-kata tertulis memiliki kekuatan ritualistiknya sendiri; tindakan menuliskan nama dewa atau entitas magis diyakini dapat menyulap atau membangkitkan mereka dengan cara tertentu,” tulis Reilly pada laman The Collector.
Aksara Paku
Aksara paku dibuat sekitar 3.500 SM di selatan Mesopotamia. Aksara ini digunakan oleh berbagai peradaban dan dapat mengartikulasikan banyak bahasa.
Aksara paku itu sendiri mengalami banyak fase dan gaya karena beragam kegunaannya. Di bawah bangsa Sumeria, aksara ini terutama berbentuk piktografik. Simbol-simbolnya memiliki hubungan yang jelas dengan kata yang mereka gambarkan; misalnya, tanda seorang penguasa adalah seorang pria dengan hiasan kepala.
Bangsa Babilonia dan Asyur mengadaptasi piktogram ke dalam aksara yang lebih kompleks. Dalam variasi yang lebih baru ini, tanda-tanda tersebut dapat mewakili suku kata atau huruf yang dapat digabungkan untuk membuat kata-kata independen dari denotasi aslinya.
“Mereka yang dilatih untuk membaca dan menulis paku-pakuan sebagian besar adalah para juru tulis atau pendeta dimana bagi penduduk yang sebagian besar buta huruf pasti tampak misterius,” kata Reilly.
Penemuan tulisan paku dengan cepat mengilhami gagasan tentang doa tertulis kepada para dewa serta kutukan. Mantra-mantra ini muncul pada berbagai benda, mulai dari mangkuk hingga jimat.
Reilly mengungkapkan, kutukan tertulis telah ditemukan di beberapa kuburan termasuk kutukan terkenal yang tertulis di dinding makam Ratu Yaba, istri Raja Tiglath-Pileser III.
Kutukan tersebut menyatakan bahwa siapa pun yang menodainya tidak akan menerima persembahan di alam baka dan akan "gelisah selama-lamanya".
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR