Nationalgeographic.co.id—Bara Imambara, atau Imambara "Agung" di Lucknow, India utara, merupakan sebuah bukti dari kecerdikan dan welas asih manusia.
Kompleks ini dibangun pada masa kelaparan yang dahsyat pada abad ke-18. Menariknya, arsitektur ini tidak hanya berfungsi sebagai sebuah tempat ibadah, tetapi juga sebuah mercusuar harapan dan sumber pekerjaan bagi ribuan orang.
Hingga hari ini, imambara ini dipenuhi oleh kerumunan orang yang terpukau oleh kemegahan dan keindahan dari monumen besar ini.
Bara Imambara: Bantuan Kelaparan
Pada tahun 1784, Awadh (Uttar Pradesh saat ini) dilanda bencana kelaparan yang luar biasa. Saking begitu parahnya, bencana ini tidak hanya berdampak pada rakyat jelata saja, namun banyak juga para bangsawan yang jatuh miskin.
Bencana ini telah membuat orang-orang tidak memiliki pekerjaan dan makanan untuk menyambung hidup.
Di tahun yang sama, Nawab Asaf-ud-Daula, merespon kelaparan akut yang melanda wilayahnya dengan membangun Bara Imambara. Dia adalah seorang bangsawan muslim yang ditunjuk Kaisar Mughal untuk menjadi Nawab (penguasa) Awadh.
“Dikenal akan kemurahan hatinya, Asaf-ud-Daula melakukan proyek-proyek konstruksi yang ambisius untuk menciptakan lapangan pekerjaan selama masa sulit,” tulis Cecilia Bogaard, pada laman Ancient Origins.
Sang Nawab tidak ingin memberikan tunjangan gratis kepada para pekerja yang menganggur. Baginya, orang-orang haruslah mencari nafkah, tidak bergantung pada derma. Hal inilah yang membuatnya memutuskan untuk membangun sebuah aula doa terbesar di negara itu.
Dipercaya bahwa tempat yang dipilih oleh Nawab dari Awadh untuk membangun Bara Imambara adalah gubuk seorang wanita tua. Wanita ini memiliki sebuah tazia kecil–replika dari bangunan suci Imam Hussain, cucu Nabi Muhammad–yang saat ini disimpan di Imambara.
Kifayatullah dari Shahjahanabad (sekarang Delhi), dipilih sebagai arsitek yang mendesain bangunan paling ambisius ini.
Kifayatullah tidak menerima sepeser pun dari Nawab untuk jasanya. Ia hanya meminta tanah untuk pemakamannya sebagai biaya. Ia dimakamkan, bersama dengan Nawab, di aula tengah Bara Imambara.
Lebih dari 20.000 orang dipekerjakan untuk pembangunan kompleks ini. Menurut Boogaard, Asaf-ud-Daula tak hanya melibatkan rakyat jelata saja, namun juga para bangsawan yang terimbas bencana.
Di siang hari, rakyat jelata ditugaskan untuk membangun imambara sesuai dengan instruksi yang diberikan. Di sisi lain, secara diam-diam, para bangsawan dibayar untuk menghancurkannya di malam hari.
Hal ini dimaksudkan untuk memastikan pekerjaan terus berlanjut bagi semua orang. Sebuah pepatah populer pada masa itu memuji kemurahan hatinya: Jisko na de Maulā, usko de Asaf-ud-Daulā ("Siapa yang tidak mendapat bantuan dari Tuhan, Asaf-ud-Daula yang memberi").
Dinding imambara terbuat dari campuran urad dal dan batu kapur, dan atapnya terbuat dari sekam padi. Getah pohon dan jaggery digunakan sebagai pengganti semen untuk merekatkan batu bata.
Keunikan Desain Arsitektur Bara Imambara
Bangunan ini bukanlah sebuah masjid atau mausoleum, tetapi dimaksudkan sebagai sebuah aula doa di mana masyarakat dapat berkumpul untuk berkabung selama bulan Muharram.
Tempat ini kemudian menjadi peristirahatan terakhir Asaf ud-Daula, ketika dirinya meninggal pada tahun 1797.
Bara Imambara memiliki berbagai fasilitas seperti masjid, serambi, aula, dan baoli (sumur berundak). Ketika musim panas tiba, di zaman para Nawab, banyak warga yang mengunjungi baoli untuk sekadar menikmati angin sejuk.
Di sisi kanan bangunan utama, terdapat tangga yang mengarah ke masjid Asafi dengan tiga kubahnya. Dikelilingi oleh menara-menara yang menawan, masjid ini memiliki dua ruang salat yang besar dan sebelas pintu melengkung.
Namun, fasilitas yang paling mencolok dari Bara Imambara adalah aula tengahnya. Berukuran sekitar 52 meter, atap aula ini dirancang menentang gravitasi–dibangun tanpa dukungan balok atau pilar.
Desain aula ini adalah permintaan–dan juga tantangan–dari Nawab. Meskipun bukanlah hal yang gampang, keahlian dan kejeniusan arsitek imambara mampu mewujudkannya.
“Ketiadaan kolom merupakan keajaiban teknik arsitektur, yang menentang metode konstruksi konvensional pada masa itu,” kata Bogaard.
Di dalam aula utama imambara, akustiknya begitu baik sehingga bahkan suara korek api yang dinyalakan di sisi lain aula bisa terdengar.
Fitur menarik lainnya dari Bara Imambara adalah Bhul Bhulaiya-yang berarti "tempat di mana seseorang akan lupa arah dan bisa tersesat”.
Ruang tersebut adalah labirin yang rumit dengan lorong-lorong sempit serta berliku. Ia juga memiliki hampir 500 pintu yang sulit untuk dibedakan.
Beberapa lorong memiliki jalan buntu, beberapa memiliki jurang yang curam dan beberapa lainnya mengarah ke pintu keluar. Hanya satu lorong yang mengarah ke balkon atap.
Konon, tempat ini dibuat untuk menyediakan rute pelarian bagi Nawab dan para punggawanya pada saat-saat bahaya. Namun, banyak juga yang mengklaim bahwa tujuan utamanya adalah untuk menjadi bentuk hiburan bagi para pengunjung.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR