Lebih dari 20.000 orang dipekerjakan untuk pembangunan kompleks ini. Menurut Boogaard, Asaf-ud-Daula tak hanya melibatkan rakyat jelata saja, namun juga para bangsawan yang terimbas bencana.
Di siang hari, rakyat jelata ditugaskan untuk membangun imambara sesuai dengan instruksi yang diberikan. Di sisi lain, secara diam-diam, para bangsawan dibayar untuk menghancurkannya di malam hari.
Hal ini dimaksudkan untuk memastikan pekerjaan terus berlanjut bagi semua orang. Sebuah pepatah populer pada masa itu memuji kemurahan hatinya: Jisko na de Maulā, usko de Asaf-ud-Daulā ("Siapa yang tidak mendapat bantuan dari Tuhan, Asaf-ud-Daula yang memberi").
Dinding imambara terbuat dari campuran urad dal dan batu kapur, dan atapnya terbuat dari sekam padi. Getah pohon dan jaggery digunakan sebagai pengganti semen untuk merekatkan batu bata.
Keunikan Desain Arsitektur Bara Imambara
Bangunan ini bukanlah sebuah masjid atau mausoleum, tetapi dimaksudkan sebagai sebuah aula doa di mana masyarakat dapat berkumpul untuk berkabung selama bulan Muharram.
Tempat ini kemudian menjadi peristirahatan terakhir Asaf ud-Daula, ketika dirinya meninggal pada tahun 1797.
Bara Imambara memiliki berbagai fasilitas seperti masjid, serambi, aula, dan baoli (sumur berundak). Ketika musim panas tiba, di zaman para Nawab, banyak warga yang mengunjungi baoli untuk sekadar menikmati angin sejuk.
Di sisi kanan bangunan utama, terdapat tangga yang mengarah ke masjid Asafi dengan tiga kubahnya. Dikelilingi oleh menara-menara yang menawan, masjid ini memiliki dua ruang salat yang besar dan sebelas pintu melengkung.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR