Oleh karena itu, mereka merasa bahwa temuan tersebut layak untuk disebutkan dalam sejarah resmi. Rupanya, mereka menghadapi tipe prajurit musuh yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Konon musuh itu bertempur dalam formasi testudo.
Pihak Tiongkok menangkap 145 tentara asing ini setelah pertempuran. Mereka sangat terkesan dengan keterampilan tentara asing dan menariknya untuk bergabung.
Kekaisaran Tiongkok kemudian menempatkan para prajurit ini di perbatasan dengan Tibet di sebuah kota yang mereka beri nama Li-Jien.
Beberapa sejarawan telah mencatat bahwa kata Li-Jien terdengar seperti pengucapan bahasa Mandarin untuk “legiun”.
Hal ini mungkin merupakan petunjuk tentang identitas tentara yang mereka tinggali di sana. Dan ada beberapa bukti genetik yang mungkin mendukung gagasan tersebut.
Bahkan saat ini, masyarakat di sekitar Li-Jien memiliki ciri khas Eropa seperti rambut pirang dan mata biru atau hijau. Dan pengujian genetik mengungkapkan bahwa hampir dua pertiga DNA mereka adalah ras Kaukasia.
Fakta tersebut menimbulkan kemungkinan yang menggiurkan bahwa orang-orang ini adalah keturunan legiuner Carrhae yang hilang.
Ada kemungkinan bahwa bangsa Romawi berperang demi Parthia sebelum ditangkap oleh bangsa Hun dan dipaksa melawan bangsa Tiongkok. Namun sebagian besar bukti yang mendukung teori ini masih kurang jelas.
Li-Jien berada di perbatasan stepa Asia Tengah, tempat sekelompok orang dari Asia dan Eropa berbaur selama ribuan tahun. Dan Li-Jien bukan satu-satunya tempat di Tiongkok di mana Anda mungkin menemukan orang-orang dengan ciri khas Kaukasia.
Bukti arkeologis dari daerah tersebut telah mengungkapkan beberapa temuan menarik. Misalnya derek yang digunakan di Roma untuk membangun benteng tetapi tidak digunakan di Tiongkok. Tapi itu juga merupakan bukti tidak langsung.
Suatu hari nanti, pengujian genetik dan arkeologi mungkin akan mengungkap kebenarannya. Namun sampai saat itu tiba, legiun legendaris yang hilang di Tiongkok tetap menjadi legenda.
Source | : | History Collection |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR