Nationalgeographic.co.id—Syamanisme atau shamanism dipraktikkan secara luas dalam sejarah Korea, dari zaman prasejarah hingga era modern. Shamanisme merupakan sistem kepercayaan yang berasal dari budaya Asia Timur Laut dan Arktik. Istilah perdukunan memiliki arti yang lebih luas di banyak budaya yang berbeda. Di Korea kuno, istilah ini mempertahankan bentuk aslinya di mana para praktisi berjanji untuk menghubungi dan memengaruhi dunia roh. Tujuannya adalah untuk membantu mereka yang masih hidup.
Dalam sebagian besar catatan sejarah Korea, Buddha adalah agama resmi negara. Namun perdukunan tetap menjadi hal yang penting bagi masyarakat. Pengaruh shamanisme terhadap kebudayaan Korea kuno paling nyata dalam seni, arsitektur, sastra, dan musik.
Ritual dan praktisi shamanisme dalam sejarah korea
Dalam shamanisme, diyakini bahwa ada dunia lain selain dunia makhluk hidup. Dunia lain itu merupakan dunia roh. “Di dunia roh ini terdapat entitas baik dan buruk yang dapat memengaruhi urusan manusia,” tulis Mark Carthwright di laman World History Encyclopedia.
Selain itu, shamanisme dicampur dengan unsur animisme. Pepohonan, gunung, batu, dan sungai diyakini memiliki rohnya sendiri. Dalam shamanisme, geomansi juga dipertimbangkan dengan cermat untuk mempertimbangkan dan memanfaatkan sebaik-baiknya lokasi tempat tinggal roh dan kekuatan hidup tersebut. Misalnya bagaimana penempatan rumah, candi, dan kuburan yang tepat.
Seorang dukun dipercaya memiliki kemampuan untuk menjalin kontak dengan roh-roh ini. Selain itu, mereka juga diyakini bisa memasuki dunia roh. Dalam ritual kut, roh atau dewa tertentu mungkin merasuki atau tinggal bersama untuk sementara waktu di tubuh dukun. Keduanya mampu melakukan percakapan. Sang dukun melakukan ini dalam kondisi trans.
Kondisi trans bisa dicapai melalui nyanyian dan tarian yang berkepanjangan disertai dengan genderang dan bunyi bel. Terakhir, dukun juga dipercaya memiliki kekuatan penyembuhan dan kemampuan untuk memberikan efek positif pada tubuh. “Misalnya kesuburan dan umur panjang,” tambah Cartwright.
Dukun perempuan disebut mudang, sedangkan dukun laki-laki disebut paksu atau pansu. Untuk menjadi dukun tidak memerlukan upacara, pembelajaran, atau inisiasi tertentu. Dukun sering kali mengeklaim pengalaman spiritual, biasanya selama sakit, dan kemudian mempraktikkan kemampuannya.
Anak-anak perempuan mudang biasanya mengikuti jejak ibu mereka dan juga menjadi dukun. Para dukun ini tidak memiliki tempat atau kuil khusus untuk melatih kemampuan mereka. Konon mereka bisa bekerja di mana saja mereka dibutuhkan. Beberapa kuil dukun memang ada, seperti kuil di daerah pegunungan yang didedikasikan untuk Sanshin, dewa gunung.
Dukun tidak memiliki afiliasi dengan badan tertentu atau tanggung jawab agama apa pun. Orang-orang yang percaya menggunakan jasa mereka dengan risiko yang ditanggung sendiri. Namun, banyak orang yang percaya pada kemampuan mudang atau pansu untuk bertindak sebagai perantara antara dunia dan alam roh.
Satu kelompok roh, khususnya, chosang atau roh leluhur, dapat menimbulkan masalah dan disalahkan atas segala macam kejadian negatif. Seorang dukun kemudian dipekerjakan untuk menghubungi roh-roh ini dan mencari tahu alasan kegelisahan mereka. Bila berhasil, chosang dapat ditenangkan untuk meninggalkan urusan orang hidup.
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR