Nationalgeographic.co.id—Banyak yang mengatakan bahwa hutan adalah paru-paru dunia. Pepohonan yang tertutup rapat di hutan berperan penting dalam mengurangi konsentrasi karbon di atmosfer, dan menghasilkan oksigen untuk bisa dihirup makhluk hidup.
Atas kinerja alam seperti ini, penjagaan hutan sangat penting demi masa depan umat manusia yang sedang dalam bayang-bayang krisis iklim.
Akan tetapi, hutan kita dalam risiko. "Bumi telah kehilangan sepertiga hutannya selama 10.000 tahun terakhir, separuhnya terjadi sejak tahun 1900," terang senior lingkungan National Geographic Craig Welch dalam tulisannya di edisi majalah April 2022.
"Kita menebang hutan untuk diambil kayunya. Kita menebangnya untuk dijadikan lahan pertanian dan peternakan. Kita membuka lahan untuk membangun rumah dan jalan."
Hutan berperan penting ketika perubahan iklim menimbulkan dampak kebencanaan. Misalnya, hutan mangrove kawasan pesisir dapat mencegah abrasi ketika permukaan air laut semakin naik. Daya penyerapan karbon mangrove pun sangat besar, sembari memulihkan dan menampung ekosistem yang kaya.
"Mencegah hilangnya hutan mangrove akan menjadi strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang efektif," tulis para peneliti dalam makalah "The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation" di jurnal Nature Climate Change tahun 2015.
Hutan menyerap karbon
Berbagai upaya pelestarian lingkungan di lakukan dengan penanaman pohon atau menghijaukan kembali hutan yang telah gundul. Menurut laporan Forest Research di Inggris tahun 2020, hutan bisa menyimpan berton-ton karbon, bahkan pada kayu yang mati dan tanah sekalipun.
Namun, upaya menanggulangi perubahan iklim lewat penyimpanan karbon pada hutan, tidak cukup dengan menanam kembali atau mencegah penebangan liar. Hutan adalah ekosistem hidup, di mana keanekaragaman hayati punya peran untuk keberlangsungannya.
Penelitian tentang hutan mangrove tahun 2015 mengungkapkan, deforestasi dan konversi hutan mangrove dapat menyumbang 10 persen dari total emisi global.
Melansir Betahita, Senior Manajer Hutan, Iklim dan Lautan, World Resources Instute (WRI) Arief Wijaya memperkirakan deforestasi pada lingkup hutan di Papua bisa menghasilkan pelepasan emisi karbon sebesar 321,4 megaton.
Keberlanjutan hutan lewat pelestarian satwa liar
Selain pepohonan, yang paling penting dari ekosistem hutan adalah satwa liar. Satwa liar berkontribusi untuk memberikan keberlangsungan lewat kotorannya, bangkai, dan sisa makanan yang dibuang dapat menjadi pupuk alami, sumber zat hara yang membantu pertumbuhan pepohonan.
Sayangnya, keberadaan satwa liar hari ini terancam karena perburuan. Perburuan ini disebabkan adanya permintaan pasar yang menjadikan satwa sebagai peliharaan.
Dalam kabar National Geographic Indonesia sebelumnya, satwa liar juga membutuhkan kesejahteraan untuk bisa berperilaku bebas di alam liar. Dengan demikian, dia dapat berkontribusi dalam keberlanjutan hutan.
Sebaliknya, hutan juga menopang kehidupan satwa liar dan efektif dalam konservasi spesies terancam punah. Penggundulan hutan dapat mengancam keberadaan satwa liar yang memaksa mereka harus bergeser ke pemukiman manusia.
Selain itu juga, rusaknya hutan dapat menyebabkan virus zoonosis. Dan kalau kita lihat secara sejarah umat manusia, wabah yang memakan umat manusia sampai banyak yang meninggal itu umumnya penyakit zoonosis," terang Nur Purba Priambada, dokter hewan dari Asliqewan (Asosiasi Dokter Hewan Satwa Liar, Akuatik, dan Hewan Eksotik Indonesia).
Keterlibatan masyarakat adat untuk konservasi hutan
Hutan punya sejuta manfaat bagi manusia. Alih-alih sekadar penyedia oksigen, hutan yang kaya dengan keanekaragaman hayati dapat menjadi sumber pangan tak terbatas. Berbagai liputan yang telah kami lakukan mengungkap bahwa keberlangsungan kawasan lindung, termasuk hutan, tidak terlepas dari peran masyarakat adat sekitarnya.
Masyarakat adat mengenal lingkungan sekitarnya dan memiliki pengetahuan tinggi dalam menjaga keseimbangan hubungan manusia dan alam. Pemanfaatan hutan dilakukan seimbang, sesuai dengan kebutuhan.
"Masyarakat di Papua dan masyarakat hukum adat lainnya, kalau dikurung dalam ruang kaca yang besar, mereka akan tetap hidup," kata Editor in Chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim. "Hutan dan alam sekitar mereka itu menampung kebutuhan mereka sehari-hari."
Oleh karena itu, penguatan masyarakat adat harus dilakukan, termasuk pelibatan mereka mengelola kawasan hutannya sendiri. Berkat pengetahuan lokal, masyarakat adat membuat hukum untuk melindungi hutan.
Akan tetapi, posisi hukum adat tidak begitu kuat. Hal ini pula yang diserukan oleh berbagai organisasi masyarakat adat dan konservasi untuk memperkuat kedudukan hukum adat dalam sistem hukum di Indonesia, salah satunya berguna dalam pelestarian hutan adat.
Source | : | national geographic,National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR