Nationalgeographic.co.id—Harimau jawa telah dinyatakan punah sejak tahun 2008. Namun sebuah penelitian baru menyingkap bahwa harimau jawa mungkin masih hidup di area hutan Sukabumi, Jawa Barat.
Dahulu terdapat tiga subspesies harimau Panthera tigris di Indonesia, yakni harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), harimau jawa (Panthera tigris sondaica), dan harimau bali (Panthera tigris balica). Harimau jawa dan harimau bali telah dikategorikan Punah dalam Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) masing-masing pada tahun 2008 dan 2013, sehingga hanya menyisakan subspesies harimau sumatra yang masih ada.
Kriteria kepunahan yang digunakan di sini adalah suatu takson tidak tercatat di alam selama 30 tahun. Penampakan harimau jawa terakhir yang terkonfirmasi positif terjadi di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, pada tahun 1976.
Harimau jawa merupakan hewan endemik di Pulau Jawa dan tersebar luas di hutan dataran rendah, semak belukar, dan kebun masyarakat pada abad ke-17 dan ke-19. Namun, hewan ini diburu karena dianggap sebagai hama, dan habitatnya diubah menjadi lahan pertanian dan infrastruktur. Baru-baru ini, ada laporan warga lokal mengenai perjumpaan harimau jawa di berbagai lokasi, termasuk di Banjarnegara, Kuningan, Gunung Prau, Meru Betiri, Taman Nasional Baluran, dan Suaka Margasatwa Cikepuh Sukabumi.
Laporan-laporan ini mencakup dugaan penampakan, jejak kaki tak dikenal yang berukuran lebih besar dari macan tutul Panthera pardus, dan kemungkinan memangsa ternak. Survei terakhir untuk subspesies ini dilakukan pada 1999-2000 di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, dengan menggunakan 35 kamera jebakan. Tidak ada harimau yang ditemukan. Namun beberapa spesies mangsa dan banyak pemburu liar terekam.
Pada 18 Agustus 2019, Ripi Yanur Fajar (seorang warga setempat dan aktivis konservasi) melaporkan melihat seekor harimau jawa di perkebunan masyarakat dekat Desa Cipendeuy di hutan Sukabumi Selatan, Jawa Barat. Hal ini dilaporkan kepada Kalih Raksasewu, peneliti dari Yayasan Bentang Edukasi Lestari Bogor yang mengunjungi situs tersebut pada 27 Agustus 2019.
Kalih menemukan sehelai rambut, kemungkinan besar adalah rambut harimau, di pagar tempat seekor hewan tampaknya telah melompat di antara jalan desa dan perkebunan. Ia dan Bambang Adryanto (seorang pegawai Departemen Penelitian dan Pengembangan Kehutanan BKSDA setempat) kemudian menemukan jejak kaki dan bekas cakar yang mungkin milik harimau, yang berpotensi menguatkan pengamatan tersebut.
Berdasarkan wawancara mendalam para peneliti, yakni Wirdateti dan Yulianto dari BRIN serta Kalih dan Bambang dengan Ripi Yanur Fajar yang melihat harimau tersebut, mereka yakin bulu tersebut berasal dari harimau jawa. "Wawancara dilakukan pada saat survei pada tanggal 15-19 Juni 2022 di lokasi ditemukannya rambut tersebut. Sampel rambut tersebut diserahkan kepada staf geologi yang melakukan penelitian di kawasan tersebut dan diteruskan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat," tulis para peneliti dalam makalah studi mereka yang telah terbit pada 21 Maret 2024 di jurnal Oryx, terbitan Cambridge University Press.
Pada tanggal 4 Maret 2022, BKSDA menyerahkan sampel rambut tersebut ke Pusat Penelitian Biologi – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk analisis genetik, bersama dengan beberapa helai rambut harimau sumatra dari provinsi Sumatra Utara untuk perbandingan. Analisis genetik DNA harimau merupakan alat yang ampuh untuk menjawab pertanyaan konservasi dan memperjelas ketidakpastian taksonomi, merekonstruksi filogeografi dan demografi, dan menyelidiki nenek moyang genetik subspesies.
"Berikut kami laporkan analisis DNA mitokondria sitokrom b (mtDNA) dari dugaan rambut harimau jawa yang ditemukan di dekat Desa Cipendeuy. Kami membandingkan sampel tersebut dengan DNA dari bulu harimau sumatra, macan tutul jawa Panthera pardus melas dan spesimen museum harimau jawa yang dikumpulkan pada tahun 1930, yang semuanya diketahui asal-usulnya," tulis tim peneliti.
Ekstraksi DNA total dilakukan menggunakan Dneasy Blood & Tissue Kit dengan protokol yang disesuaikan (Qiagen, USA). Protokolnya dimodifikasi dengan menambahkan proteinase K karena tingginya kandungan protein pada rambut.
"Untuk verifikasi, kami menggunakan sampel rambut dari spesimen harimau berumur 60-100 tahun di Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) (nomor katalog MZB 2428 untuk harimau jawa, MZB 41742 dan MZB 6832 untuk harimau sumatra), dan dari koleksi tambahan harimau sumatra dari Hutan Simalungun (Sumatera Utara, 2019) dan Hutan Siak (Riau, 2018), dan P. pardus melas dari Gunung Prau (Jawa Tengah, 2018) yang disimpan di Laboratorium Genetika BRIN Bogor. Semua sampel diekstraksi dan diamplifikasi menggunakan primer dan metode yang sama," beber tim peneliti.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR