Nationalgeographic.co.id—Gempa Bawean berkekuatan M5,9 dan M6,5 menggoyang wilayah pesisir utara Jawa pada 22 Maret 2024. Gempa ini merupakan jenis gempa kerak dangkal (shallow crustal earthquake) yang dipicu aktivitas sesar aktif dengan mekanisme geser/mendatar (strike-slip) di Laut Jawa.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan gempa ini bersifat merusak/destruktif. Gempa ini menimbulkan dampak kerusakan bangunan tidak hanya di Pulau Bawean, tetapi juga di Gresik, Tuban, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan, Bojonegoro, Pamekasan Madura, dan Banjarbaru.
Gempa ini menimbulkan guncangan dengan spektrum luas. "Dampak guncangan Gempa Bawean ini dirasakan hingga jauh meliputi daerah Banjarmasin, Banjarbaru, Sampit, Balikpapan, Madiun, Demak, Semarang, Temanggung, Solo. Yogyakarta, Kulon Progo, dan Kebumen," papar Dayono.
Untungnya, gempa ini tidak berpotensi tsunami. "Hasil pemodelan tsunami BMKG menunjukan bahwa Gempa Bawean tersebut tidak berpotensi tsunami," kata Daryono. "Data lapangan hasil monitoring muka laut dengan menggunakan Tide Gauge milik Badan Informasi Geospasial (BIG) di Karimunjawa, Lamongan, dan Tuban menunjukkan muka laut yang normal tanpa ada anomali catatan tsunami."
Tampaknya gempa berkekuatan M6,5 ini belum dapat menimbulkan deformasi dasarlaut yang dapat mengganggu kolom air laut. Selain itu, mekanisme sumber gempanya yang berupa sesar geser/mendatar tidak produktif dalam membangkitkan tsunami.
Analisis Daryono lebih lanjut menyatakan bahwa Gempa Bawean berpusat di zona aktivitas kegempaan rendah (low seismicity). Hal ini membuat masyarakat awam menilai Gempa Bawean sebagai “gempa tidak lazim”, karena terjadi di wilayah yang jarang terjadi gempa dangkal.
Selama ini wilayah Laut Jawa lazimnya menjadi episenter gempa-gempa hiposenter dalam (deep focus) akibat deformasi slab Lempeng Indo-Australia yang tersubduksi di bawah Lempeng Eurasia tepatnya di bawah Laut Jawa dengan kedalaman sekitar 500-600 km.
Daryno mengatakan bahwa Gempa Bawean berpusat di zona Sesar Tua Pola Meratus. Umumnya, wilayah Laut Jawa utara Jawa Timur secara geologi dan tektonik berada pada zona Sesar Tua Pola Meratus yang mengindikasikan keberadaan jejak sesar-sesar/patahan yang berusia tua.
Gempa Bawean membuktikan bahwa ternyata jalur sesar di Laut Jawa masih aktif, sekaligus menjadi pengingat kita untuk selalu waspada terhadap keberadaan sesar aktif dasar laut yang jalurnya dekat Pulau Bawean yang berpenduduk. Gempa dapat berulang dan terjadi kapan saja. Meskipun termasuk dalam zona kegempaan rendah, Laut Jawa utara Jawa Timur tetap memiliki potensi gempa karena secara geologi dan tektonik terdapat jalur Sesar Tua Pola Meratus.
Sulit untuk mengatakan sebuah zona sesar tua (sutur) disebut stabil dan aman dari gempa. Sebab, sudah banyak bukti aktivitas gempa yang terjadi di zona stabil di mana terdapat sutur, contohnya di Australia, Amerika Serikat, dan lain-lain.
Meskipun masih dalam perdebatan terkait “residual stress”, tetapi fakta menunjukkan bahwa bahwa zona stabil masih bisa terjadi gempa dan energi gempa sangat mungkin terbangun dari “super slow stress accumulation”.
Reaktivasi Sesar Tua
Yang menarik dari Gempa Bawean adalah gempa ini dipicu oleh reaktivasi sesar tua. Episenter Gempa Bawean ternyata terletak tepat di jalur sesar yang sudah terpetakan.
Jika mencermati lokasi pusat Gempa Bawean, tampak episenternya terletak tepat pada jalur Sesar Muria (Laut) menurut makalah ilmiah yang dipublikasikan Peter Lunt (2019). Jalur sesar ini berada di zona Sesar Tua Pola Meratus. Salah satu jalur sesar di zona Pola Meratus ini diduga mengalami reaktivasi dan memicu gempa.
Hal menarik lainnya, Gempa Bawean memiliki “gempa susulan” dengan magnitudo lebih besar (M6,5) dari gempa pertama (M5,9). Hal ini bisa terjadi karena asperity (bidang bakal geser di bidang sesar) yang ukurannya lebih besar (M6,5) mengalami pecah belakangan, salah satunya karena dipicu tekanan dari gempa pertama (M5,9) dengan aspertity yang ukurannya relatif lebih kecil.
Bidang sesar yang pecah pertama kali (first rupture) adalah asperity pada struktur batuan yang lebih lemah. Jadi asperity pada gempa pertama mengalami pecah duluan sebagai gempa pembuka (foreshock).
Selain ada satu gempa susulan yang berkekuatan lebih besar, Gempa Baeran juga diikuti oleh gempa susulan lain yang cukup banyak. Hal ini disebabkan karakteristik gempa kerak dangkal di Bawean terjadi pada batuan kerak bumi permukaan yang batuannya bersifat heterogen sehingga mudah rapuh patah. Gempa ini berbeda dengan gempa kerak samudra yang batuan bersifat homogen dan elastik sehinga biasanya miskin gempa susulan bahkan terkadang tidak diikuti gempa susulan meskipun magnitudo gempanya cukup besar.
Gempa susulan sejatinya lazim terjadi pasca terjadi gempa kuat dan bukan untuk ditakuti. Banyaknya gempa susulan justru dapat memberi informasi peluruhan gempa sehingga kita dapat mengestimasi kapan berakhirnya gempa susulan.
Gempa Bawean Mulai Meluruh
Hasil monitoring BMKG hingga Minggu pagi (24) pukul 10.00 WIB mencatat ada sebanyak 239 kali gempa dengan frekuensi kejadian yang semakin jarang sejak Gempa Bawean pertama pada Jumat lalu. Jika hari Jumat (22/3) dalam satu jam dapat terjadi 19 kali gempa, maka data terkini Minggu (24/3) menunjukkan dalam 1 jam terjadi 2-3 kali gempa. Semoga kondisi tektonik sumber gempa di Bawean segera stabil dan aman kembali.
Gempa Bawean ini menambah catatan jumlah gempa kuat di Laut Jawa. Sejarah gempa kuat di Laut Jawa tidak banyak, hanya 4 kali yaitu pada 1902, 1939, 1950 dan terkini 2024.
Dengan demikian, Gempa Bawean memberi pelajaran penting. Ancaman gempa merusak di Jawa Timur tidak hanya berasal dari selatan yaitu sumber gempa subduksi lempeng/megathrust dan sesar-sesar aktif di daratan, tetapi ternyata juga dari sumber-sumber gempa di Laut Jawa di utara Jawa Timur.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR