Nationalgeographic.co.id—Selat Muria menjadi perbincangan setelah banjir besar melanda wilayah Kabupaten Demak, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Musibah banjir akibat jebolnya enam tanggul Sungai Wulan itu kerapa disebut sebagai banjir terparah dalam 30 tahun terakhir.
Peristiwa ini nyaris menenggelamkan belasan kecamatan dan melumpuhkan aktivitas perekonomian. Yang menarik, lokasi wilayah yang terdampak banjir tersebut ternyata merupakan bagian dari Selat Muria pada zaman lampau.
Selat Muria adalah selat yang pernah ada dan menghubungkan Pulau Jawa bagian timur sebelah utara dengan Pulau Muria. Selat Muria diketahui terus eksis hingga abad ke-15.
Selat Muria yang terbentuk secara tektonik ini dikenal sebagai bagian dari patahan atau Sesar Pati, yaitu dari arah selatan Semarang ke arah timur laut menuju Laut Jawa. Hal ini diungkapkan Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eko Soebowo.
Pada acara Media Lounge Discussion (MELODI) bertajuk “Fenomena Selat Muria, Mungkinkah Muncul Kembali?” akhir bulan lalu, Eko menjelaskan proses pendangkalan di Selat Muria yang berlangsung selama ratusan tahun terutama sejak zaman kolonial. Pendangkalan ini menyebabkan terbentuknya dataran rendah yang akhirnya menyatukan Pulau Muria dengan Pulau Jawa.
Menurutnya, eksploitasi secara besar-besaran hutan-hutan di Jawa Tengah dan Timur untuk mendapatkan kayu yang terkenal berkualitas tinggi menjadi penyebab utama proses sedimentasi kala itu.
“Selat Muria yang riak air lautnya tidak terlalu besar, selama ratusan tahun perlahan-lahan menghilang dan kemudian menjadi dataran rendah akibat sedimentasi yang tinggi dari Pulau Jawa bagian utara," papar Eko.
Terkait fenomena banjir besar yang melanda Demak dan sekitarnya akhir-akhir ini, sehingga nyaris tenggelam layaknya seperti selat, dia meyakini tidak akan mengembalikan Selat Muria yang pernah ada ratusan tahun lalu.
“Jika banjirnya surut, maka akan kembali menjadi daratan. Perlu waktu jutaan tahun melalui proses geologi yang luar biasa untuk mengembalikan Selat Muria,” pungkasnya.
Kepala Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN Adrin Tohari menekankan pentingnya kajian untuk mengetahui karakteristik sumber bahaya geologi dan laju pergerakannya secara komprehensif. Hal ini akan mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam mitigasi bencana geologi seperti gempa, tsunami, banjir rob, dan gerakan tanah.
Adrin mencontohkan, alat hasil riset Perangkat Ukur Muka Air Laut (PUMA) yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk mitigasi tsunami. “Alat PUMA dirancang murah pembuatannya, karena komponennya ada di Indonesia, dan mudah menggunakannya. Ini merupakan contoh upaya mitigasi yang sangat dibutuhkan masyarakat”, ujarnya.
Dia berharap, melalui inovasi seperti ini, masyarakat dapat melakukan mitigasi melalui evakuasi secara mandiri tanpa harus ketergantungan pada pemerintah.
“Pemerintah selama ini berupaya melakukan mitigasi dengan menerapkan tata guna lahan sesuai aturan. Dalam praktiknya, pemerintah daerah juga perlu menyosialisasikan tata ruang area rawan kebencanaan di wilayahnya,” ungkap Adrin.
“Hal ini penting untuk diketahui masyarakat, sehingga tahu dan peduli daerah mana saja di wilayahnya yang rawan bencana. Jangan sampai kita membangun permukiman padat penduduk di daerah rawan bencana,” tegasnya.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR