Nationalgeographic.co.id—Sebuah kisah tentang pejuang luar biasa muncul dari pantai Mediterania yang indah di Kepulauan Balearik. Dalam sejarah Romawi, mereka ikut turun ke garis depan pertempuran bersama para legiun.
Bayangkan sekelompok pria yang berani dan menakutkan yang hanya membawa tas kulit. Dengan jentikan pergelangan tangan, rentetan batu dilontarkan dengan ketepatan yang luar biasa. Mereka dikenal dengan sebutan pengumban Balearik.
Sebagai pihak yang tidak diunggulkan dalam peperangan kuno, pengumban Balearik menantang rintangan. “Mereka meninggalkan jejak dengan cara yang menakjubkan,” tulis Justin Brown di laman History Defined.
Para pengumban turun ke medan perang yang kacau. Di sana, proyektil mematikan mereka menembus udara, menemukan sasarannya dengan akurasi yang mencengangkan.
Para pejuang ini memiliki kemampuan supernatural dalam meluncurkan batu dengan kecepatan tinggi. Mereka mengubah kata-kata sederhana mereka menjadi instrumen kehancuran.
Dari bentrokan epik Perang Kartago hingga bergabung dengan legiun Romawi, pengumban Balearik tanpa rasa takut turun ke garis depan. Mereka selamanya mengubah arah konflik kuno.
Siapakah para pengumban Balearik?
Pengumban Balearik yang sangat ditakuti adalah pejuang kuno yang berasal dari Kepulauan Balearik. Mereka adalah penembak jitu yang terkenal karena keahliannya dalam menggunakan ketapel. Katapel adalah senjata sederhana namun dahsyat yang telah mereka kuasai dengan sempurna.
Berbekal gendongan tangan yang dibuat dari bahan tenun dan kulit, pengumban Balearik dapat mendorong berbagai proyektil menuju sasarannya. “Tentu saja dengan ketepatan yang menakjubkan,” tambah Brown.
Batu halus dan peluru timah biasanya berfungsi sebagai amunisi. Beberapa peluru bahkan didesain berlubang-lubang yang mengeluarkan suara mendengung mirip tawon yang gelisah.
Selain itu, peluru sering kali memuat tulisan dan gambar. Termasuk gambar petir, ular, atau kalajengking. Semuanya dimaksudkan untuk mengintimidasi musuh.
Teknik melempar mereka bervariasi tergantung jarak, sasaran, dan individu. Namun hasilnya selalu mematikan.
Pengumban sering kali membawa banyak ketapel dan dipersenjatai dengan berbagai jenis proyektil. Hal ini membuat mereka cukup mudah beradaptasi.
Menurut sumber sejarah, seorang pengumban yang mahir dapat melepaskan tujuh tembakan per menit. Tembakan ini bisa mencapai jarak kurang lebih 275 meter atau bahkan lebih. Jika memegang ujung umban dengan jari, mereka dapat meluncurkan batu dengan kecepatan luar biasa hingga 240 kilometer per jam.
Proyektil-proyektil ini tidak bisa dianggap remeh. Proyektil memiliki kekuatan untuk membunuh dengan tepat dan kuat. Baik mempertahankan tanah air dari penjajah atau berburu makanan, keterampilan para pengumban Balearik terbukti sangat bermanfaat.
Keahlian para pengumban Balearik dalam bidangnya melampaui akurasi belaka. Keahlian mereka mencakup taktik, teknologi, dan seni peperangan itu sendiri.
Keahlian luar biasa mereka dalam menggunakan gendongan diwariskan dari generasi ke generasi. Hal ini mengangkat mereka ke status legendaris, selamanya mengukir nama mereka dalam sejarah peperangan kuno.
Pengumban Balearik dan Hannibal Barca
Selama Perang Punisia Kedua, Kartago dipimpin oleh jenderal brilian Hannibal. Mereka melancarkan serangan militer yang menghancurkan melawan Romawi.
Bahkan dengan gajah perang mereka yang tangguh, pengumban Balearik-lah yang menimbulkan ketakutan tengah-tengah legiun Romawi. Menyadari keahlian mereka yang luar biasa, orang-orang Kartago dengan penuh semangat merekrut para penembak jitu ini.
Bangsa Kartago termasuk bangsa pertama yang mengeksploitasi keterampilan para pengumban legendaris itu. Mereka menyewa sekitar 2.000 pengumban Balearik untuk bertarung bersama dalam Pertempuran Sisilia dan Perang Punisia melawan tentara Romawi.
Namun, diyakini bahwa pengumban Baleariks telah berpartisipasi dalam pertempuran sejak abad ke-5 SM. Hal ini memperkuat reputasi mereka sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan di medan perang kuno.
Pengumban Balearik dalam sejarah Romawi
Meskipun tentara Kartago adalah yang pertama menyadari keterampilan luar biasa dari pengumban Balearik, mereka bukanlah satu-satunya. Pada tahun 123 SM, bangsa Romawi mengincar Menorca. Namun mereka menghadapi perlawanan sengit saat tiba di Menorca.
Saat mendekat, mereka menghadapi rentetan batu berkecepatan tinggi yang menghujani kapal mereka. Menyadari keterampilan para pengumban Baleariks, orang-orang Romawi mencapai kesepakatan dengan mereka. Romawi mengintegrasikan beberapa dari para pengumban ke dalam barisan mereka untuk bertarung bersama legiun.
Bangsa Romawi akhirnya menang atas bangsa Kartago. Pengumban Balearik selalu hadir sebagai unit tambahan di tentara Romawi.
Mereka bahkan melatih setiap legiuner dalam seni menggunakan ketapel. Pada akhirnya, keahlian pengumban Balearik menjadi aset berharga bagi militer Romawi.
Akhir dari pengumban Balearik
Sejarah pengumban Balearik akhirnya mencapai akhir. Kesudahannya ditandai dengan kombinasi manuver politik dan teknologi militer yang terus berkembang.
Mesin perang Romawi, di bawah kendali Quintus Caecilius Metellus, menaklukkan Balearik tidak lama setelah tahun 123 SM. Hal ini menyebabkan konfrontasi angkatan laut melawan bajak laut yang bersekutu dengan beberapa pengumban Balearik.
Metellus berhasil merebut pulau-pulau tersebut. Kehadirannya di pulau-pulau tersebut berlangsung selama sekitar 2 tahun, di mana ia memegang kendali, mendirikan benteng, dan mendirikan kota. Kembalinya dia ke Roma memberinya kemenangan dan julukan “Balearikus.”
Seiring berjalannya waktu, penggunaan umban pun berangsur-angsur berkurang. Pelatihan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pengumban terampil sangat ekstensif. Dan kemajuan teknologi mendukung senjata yang lebih efisien.
Pengumban Balearik, meskipun sudah ketinggalan zaman karena kemajuan teknologi, akan selamanya dikenang. Semua ini berkat keterampilan mereka yang luar biasa, reputasi yang menakutkan, dan rasa hormat yang diperoleh baik dari teman maupun musuh.
Source | : | History Defined |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR