Pengumban sering kali membawa banyak ketapel dan dipersenjatai dengan berbagai jenis proyektil. Hal ini membuat mereka cukup mudah beradaptasi.
Menurut sumber sejarah, seorang pengumban yang mahir dapat melepaskan tujuh tembakan per menit. Tembakan ini bisa mencapai jarak kurang lebih 275 meter atau bahkan lebih. Jika memegang ujung umban dengan jari, mereka dapat meluncurkan batu dengan kecepatan luar biasa hingga 240 kilometer per jam.
Proyektil-proyektil ini tidak bisa dianggap remeh. Proyektil memiliki kekuatan untuk membunuh dengan tepat dan kuat. Baik mempertahankan tanah air dari penjajah atau berburu makanan, keterampilan para pengumban Balearik terbukti sangat bermanfaat.
Keahlian para pengumban Balearik dalam bidangnya melampaui akurasi belaka. Keahlian mereka mencakup taktik, teknologi, dan seni peperangan itu sendiri.
Keahlian luar biasa mereka dalam menggunakan gendongan diwariskan dari generasi ke generasi. Hal ini mengangkat mereka ke status legendaris, selamanya mengukir nama mereka dalam sejarah peperangan kuno.
Pengumban Balearik dan Hannibal Barca
Selama Perang Punisia Kedua, Kartago dipimpin oleh jenderal brilian Hannibal. Mereka melancarkan serangan militer yang menghancurkan melawan Romawi.
Bahkan dengan gajah perang mereka yang tangguh, pengumban Balearik-lah yang menimbulkan ketakutan tengah-tengah legiun Romawi. Menyadari keahlian mereka yang luar biasa, orang-orang Kartago dengan penuh semangat merekrut para penembak jitu ini.
Bangsa Kartago termasuk bangsa pertama yang mengeksploitasi keterampilan para pengumban legendaris itu. Mereka menyewa sekitar 2.000 pengumban Balearik untuk bertarung bersama dalam Pertempuran Sisilia dan Perang Punisia melawan tentara Romawi.
Namun, diyakini bahwa pengumban Baleariks telah berpartisipasi dalam pertempuran sejak abad ke-5 SM. Hal ini memperkuat reputasi mereka sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan di medan perang kuno.
Pengumban Balearik dalam sejarah Romawi
Source | : | History Defined |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR