Nationalgeographic.co.id—Kita dapat merasakan segalanya dengan indra yang kita miliki. Kelima indra kita—penglihatan, pengecap, peraba, pendengaran, dan penciuman—membuat segalanya begitu nyata untuk dirasakan kesadaran (consciousness) kita.
Namun apa yang terjadi ketika kita mati? Semua indra kita berhenti bekerja tanpa instruksi otak dan denyut dari jantung. Seolah, kematian adalah kegelapan kekal.
Di sisi lain, ada banyak cerita-cerita keagamaan yang menggambarkan kondisi kita setelah kematian dengan referensi spiritual. Cerita-cerita ini membuat kita bergidik ngeri, seolah masih ada pengalaman yang dapat dirasakan setelah kita wafat.
Mendekati Kematian
Meski pengalaman mendekati sering dilihat dari sudut pandang agama, para ilmuwan menggali fenomena tersebut dari segi ilmiah. Sebuah penelitian dari University of Michigan meneliti pada aktivitas otak pada saat kematian.
Penelitian tersebut dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Science dengan makalah bertajuk "Surge of neurophysiological coupling and connectivity of gamma oscillations in the dying human brain".
Para peneliti mengungkap bahwa ada lonjakan aktivitas otak pada saat kematian. Temuan ini sebenarnya sudah diungkapkan dalam berbagai penelitian sebelumnya pada hewan.
"Kami menduga bahwa [lonjakan itu] mungkin mewakili korelasi saraf dari kesadaran yang berpotensi menghubungkan pengalaman subjektif orang-orang yang selamat dari serangan jantung,” kata Jimo Borjigin, salah satu penulis makalah dari, profesor di Department of Molecular and Integrative Physiology, University of Michigan.
Xu dan tim mempelajari aktivitas otak empat orang yang meninggal dunia di rumah sakit saat dipantau alat elektrogam. Mereka mendapati bahwa aktivitas otak terdeteksi di sekitar persimpangan temporoparietal.
Tempat itu adalah persimpangan antara lobus temporal, parietal, dan oksipital di bagian belakang otak. Persimpangan temporoparietal berhubungan dengan mimpi, halusinasi, dan perubahan kondisi kesadaran.
Sam Parnia, dokter dan peneliti Stony Brook University Hospital, menyebutkan bahwa kesadaran manusia tidak hilang, bahkan selama beberapa jam setelah kematian. Pasalnya, kematian hanya ditandai dengan berhentinya aktivitas otak dan denyut jantung secara medis. Masih ada bagian dari tubuh kita yang masih hidup: sel.
"...jika aku mati saat ini juga, sel-sel di dalam tubuhku belum akan mati. Butuh waktu bagi sel untuk mati setelah kekurangan oksigen. Hal ini tidak terjadi secara instan. Kami memiliki jangka waktu yang lebih lama daripada yang diperkirakan orang," jelasnya di Wired.
"Kematian pada dasarnya sama dengan stroke, dan hal ini terutama berlaku pada otak. Stroke adalah suatu proses yang menghentikan aliran darah masuk ke otak. Entah itu karena jantung berhenti memompa, atau ada gumpalan yang menghentikan aliran darah, sel-sel tidak peduli," lanjutnya.
Sel-sel ini biasanya dimanfaatkan dokter untuk CPR. Teknologi kejut ini supaya sel dan darah bisa mengalir ke otak, kemudian mengaktifkan kembali jantung pada pasien serangan jantung.
Sensasi "Keluar dari Tubuh" dan Terowongan Cahaya
Borjigin, dikutip dari Meidcal News Today berpendapat, pengalaman kematian sangat subjektif dengan penglihatan yang mereka dapati berkat lonjakan otak pada persimpangan temporoparietal.
"Beberapa dari pasien ini mungkin akan menceritakan ceritanya (penampakan yang dilihat) jika mereka masih hidup, tapi sayangnya mereka tidak melakukannya," jelasnya Borjigin.
"Data yang dihasilkan, meski hanya empat pasien, sangat besar. Jadi, kami hanya dapat melaporkan sebagian kecil dari fitur yang sebenarnya ditampilkan pada data tersebut," terang Borjigin, dikutip dari Medical News Today.
Pengalaman ini mungkin pernah dirasakan bagi mereka yang pernah mendekati kematian, seperti mati suri. Beberapa testimoni mengisahkan dirinya seperti keluar tubuh atau persepsi gerakan seolah-olah mereka terbang.
Mengutip Healthline, ahli bioetika dari NYU Langone Medical Center di New York Arthur Caplan menjelaskan bahwa lonjakan inilah yang menyebabkan orang seolah dapat melihat malaikat atau cahaya di ujung terowongan.
Penglihatan seperti ini menunjukkan adanya perubahan kimia selama proses kematian. "Hal ini menunjukkan bawha otak mempunyai langkah-langkah yang diperlukan untuk mencoba membangunkan dirinya sendiri dan menyala sebisa mungkin dengan halusinasi," tutur Caplan.
Sosok Asing Setelah Kematian
Parnia menulis buku tentang kematian bertajuk Erasing Death. Dalam catatannya, seorang pasien bernama Joe Tiralosi, yang berhasil dibawa kembali kesadarannya setelah 40 menit jantungnya berhenti.
Tiralosi dirawat di ruang gawat darurat. Sel-sel otaknya diawetkan. Pembuluh darahnya tersumbat. Pengobatan itu berhasil dilakukan dan dia disadarkan lewat CPR. Dia tidak mengalami kerusakan otak sekali.
Ketika siuman, Tiralosi mengatakan kepada perawat bahwa dirinya memiliki pengalaman mendalam. Dia merasa damai dan melihat makhluk sempurna yang penuh cinta dan kasih sayang, bak malaikat.
"Orang cenderung menafsirkan apa yang mereka lihat berdasarkan latar belakang mereka: Seorang Hindu menggambarkan dewa Hindu, seorang ateis tidak melihat dewa Hindu atau dewa Kristen, tetapi suatu makhluk," urai Parnia.
"Budaya yang berbeda melihat hal yang sama, namun penafsirannya bergantung pada apa yang mereka yakini," lanjutnya.
"Setidaknya, hal ini memberi tahu kita bahwa ada pengalaman unik yang dialami manusia saat mengalami kematian. Itu bersifat universal. Ini dijelaskan oleh anak-anak berusia tiga tahun. Dan hal ini memberi tahu kita bahwa kita tidak perlu takut akan kematian," terang Parnia.
Source | : | Wired,Healthline,Medical News Today,Proceedings of The National Academy of Sciences |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR