Nationalgeographic.co.id—Keberadaan emas di Sumatra sudah dikenal sejak awal sejarah kalender Masehi. Klaudius Ptolemaeus, ahli geografi berkebangsaan Yunani di Aleksandria, Mesir pernah membuat peta fenomenal yang memuat dunia timur pada 150 SM. Dia menamai Chyrse Chersonesos (Semenanjung Emas) pada daerah yang diyakini sejarawan sebagai Pulau Sumatra.
Hanya sedikit sebenarnya yang diketahui orang Barat tentang dunia Asia, apa lagi kepulauan Asia Tenggara yang begitu banyak jumlahnya. Namun, narasi limpahan emas di sebuah dataran atau pulau di Timur ini cukup di kenal oleh peradaban Barat.
Rujukan Sumatra sebagai Pulau Emas juga berdasar. Rahib Buddha Tiongkok I Tsing ketika menyambangi Kerajaan Sriwijaya pada abad ketujuh Masehi menyebut pulau yang ditempati sebagai "Chin-chou" yang berarti Pulau Emas.
Di India, Prasasti Nalanda dari tahun 820 dan Prasasti Tanjore dari tahun 1030 juga menyebut Suwarnadwipa, bahasa Sansekerta dari "Pulau Emas" untuk merujuk kawasan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Nama ini juga dipakai dalam Prasasti Padang Roco berangka tahun 1286 di Dharmasraya. Sumatra Barat.
Dari Sriwijaya hingga Hindia Belanda
Para ahli sejarah memperkirakan bahwa masyarakat di Sumatra sudah sejak lama menambang emas yang sumber dayanya begitu melimpah. Tome Pires, penjelajah Portugis, mencatat dalam buku Suma Oriental (1512-1516) bahwa kawasan Pedir merupakan penghasil emas yang diasosiasikan berbagai sejarawan sebagai Sumatra.
Doni Prasetyo pegiat sejarah dan Pengelola Data Penetapan Warisan Budaya di Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek menyebut, eksplorasi emas dan mineral di Sumatra telah dieksplorasi sejak masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya.
Perkembangannya berlanjut pada masa Kesultanan Aceh pada abad ke-17. Pada masa sejarah ini, pertambangan emas di Sumatra menjadi perebutan ketika VOC, kongsi dagang Belanda, datang, seperti yang terjadi pada eksplorasi emas dan perak di Salido, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat.
"Melalui perjanjian Painan pada 1662, VOC mengambil alih tambang emas tersebut sekaligus menjadikannya kompleks tambang emas pertama di Hindia Belanda dan salah satu yang tertua di Asia Tenggara," tulis Doni dalam buletin Cagar Budaya.
Memasuki era industrialisasi dan kolonialisme Hindia Belanda menancap tegak di Sumatra, pertambangan emas menjadi industri yang digandrungi sejak abad ke-19. Area pertambangan emas tersebar luas di penjuru Sumatra, dari Aceh sampai Lampung.
Doni mencatat, tambang emas di Lebong, Bengkulu, pernah merajai industri emas di Asia Tenggara pada paruh pertama abad ke-20. Tambang emas ini diinisiasi oleh Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong dan Mijnbouw Maatschappij Simau.
Kebutuhan industrialisasi yang cepat dan medan Sumatra yang dipenuhi pegunungan membuat Pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api lokal. Kereta api ini tidak hanya membawa hasil emas dan perak, namun juga hasil tambang lainnya. Sumatra begitu kaya akan timah, batu bara, bauksit, dan minyak, untuk memenuhi kebutuhan industri Belanda.
Tambang Emas di Sumatra Hari Ini
Setelah Indonesia merdeka, ada banyak pertambangan emas industri di seantero Sumatra. Sebagian dari tambang-tambang sisa dinasionalisasi, atau ditutup karena kehabisan sumber daya.
Melansir halaman PT Agincourt Resources, di Sumatra Utara sendiri memiliki tambang emas dengan luas wilayah sekitar 130 ribu hektare, berdasarkan laporan Januari 2022. Diketahui, Pulau Sumatra menyimpang 168 juta ton cadangan emas.
Akan tetapi, pertambangan emas memiliki dampak buruk, dari segi lingkungan, konservasi dan sosial. Misalnya, di Batang Toru, Sumatra Utara, tambang emas industri berdekatan dengan kawasan lindung orangutan tapanuli. Eksplorasi tambang emas itu bahkan merambah ke wilayah konservasi.
Makruf Maryadi Siregar, Konsultan Manajemen pada Proyek Sustainable Management Peat-land Ecosystems Indonesia (SMPEI) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjelaskan bahwa pertambangan emas membuat berbagai air sungai keruh kecokelatan.
"Pulau ini potensi emasnya banyak dan dikenal sejak lama. Banyak masyarakat yang bergantung pada limpahan emas karena potensinya begitu melimpah," kata Makruf sewaktu dijumpai pada 2022.
Makruf menulis cerita pertambangan emas warga di Sumatra dalam buku Emas Rantau Kuantan: Peti dan Upeti. Dia menjelaskan bahwa banyak masyarakat yang membangun pertambangan emas tanpa izin (PETI).
Pertambangan emas tanpa izin ini berbahaya bagi kesehatan masyarakat sendiri. "Setiap unit PETI itu, paling sedikit menggunakan sebanyak 2,5 ons merkuri setiap hari," tulis Makruf. Dia memperkirakan total merkuri yang bisa dihasilkan dari berbagai tambang emas ilegal di Kabupaten Kuantan Singingi sebesar 15 kilogram setiap harinya.
"Jika mereka beroperasi sekitar 300 hari setahun, maka diperkirakan sebanyak 4,5 ton merkuri dibuang ke lingkungan air dan udara," lanjutnya.
Merkuri atau air raksa muncul dalam pertambangan emas warga untuk memisahkan bijih emas dari logam atau mineral lain. Merkuri digunakan bersama campuran larutan pasir atau debu hasil tambang, supaya emas bisa tampak.
Sungai yang tercemar merkuri bisa menyebabkan kebutaan dan kerusakan kulit. Tidak jarang beberapa penambang terpapar.
Makruf menjelaskan, menghentikan aktivitas pertambangan emas tanpa izin bukanlah hal yang mudah. Ada ribuan tambang emas ilegal yang berdiri sejak lama. Dia menyarankan, cara untuk menghentikan adalah membuka jalan mata pencaharian alternatif, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR