Nationalgeographic.co.id—Runtuhnya Dinasti Yuan terjadi dengan cara yang sama seperti dinasti-dinasti sebelumnya dalam sejarah Kekaisaran Tiongkok. Perselisihan internal terjadi, di mana panglima perang berdiri melawan panglima perang. Selain itu, bencana alam yang sangat besar pun turut andil dalam mempercepat kejatuhan dinasti ini.
Setelah kejatuhan Dinasti Yuan, Dinasti Ming muncul untuk memimpin Kekaisaran Tiongkok. Bagaimana sejarah berdiri dan jatuhnya Dinasti yang berkuasa selama 276 tahun itu?
Kaisar pertama Dinasti Ming
Zhu Yuanzhang menjadi Kaisar Tiongkok pertama dalam hampir 2.000 tahun yang berasal dari keluarga petani miskin. Sebagai seorang anak, Zhu kehilangan orang tuanya karena banjir besar. Seperti banyak anak yatim piatu lainnya di Tiongkok kuno sepanjang sejarah, ia menjadi biksu di biara Buddha. Namun hanya dalam waktu yang singkat.
Melalui keahlian dan kecerdikannya yang luar biasa sebagai prajurit dan ahli strategi militer, ia akhirnya menjadi pendiri dinasti baru. Sebagai Kaisar Hongwu (1328-1398), ia memerintah salah satu kekaisaran terhebat di dunia, dari tahun 1368 hingga kematiannya.
Kaisar Hongwu segera menunjukkan kemampuan yang kuat dan kemauan untuk menggunakan kekuatan brutal. “Tujuannya adalah untuk memperjelas bahwa Dinasti Ming melambangkan stabilitas dan kesinambungan,” tulis Kristoffer Uggerud di laman The Collector. Sedangkan Dinasti Yuan melambangkan perpecahan dan kekacauan.
Perekonomian dan pertanian berada dalam kesulitan dan pemerintahan pun hampir runtuh saat Dinasti Ming mulai berkuasa. Hongwu berjanji untuk membersihkan Kekaisaran Tiongkok dari pengaruh kelompok barbar Mongol.
Kaisar Hongwu digambarkan sebagai pemimpin visioner dan jenius kreatif, namun akhirnya ia menunjukkan gejala paranoia. Pada tahun 1380 ia menuduh penasihat terpentingnya melakukan penghasutan dan menjatuhkan hukuman mati. Dalam perburuan para konspirator, 30.000 orang dibunuh.
Hongwu selalu berhati-hati dalam menunjukkan kekuatannya. Sang kaisar bahkan melembagakan sistem di mana pukulan dengan tongkat bambu yang berat menjadi metode hukuman yang umum. Para pejabat tinggi birokrasi bisa dipukuli sampai mati karena ketidaktaatan sekecil apa pun.
Ia juga dikenal dengan pernyataan berikut: “Saya pergi ke Pelabuhan Taiping dan menyuruh mereka dicambuk berkali-kali dan dipotong kakinya. Kemudian saya perintahkan mereka kembali bekerja, untuk memberi contoh bagi orang lain.” Hal ini menunjukkan bahwa itulah yang dilakukannya terhadap orang-orang yang tidak mengikuti perintahnya
Dari Nanjing ke Beijing: pemerintahan Kaisar Yongle
“Kaisar Ming lainnya juga harus disebutkan karena ia cukup penting dalam sejarah Dinasti Ming,” ungkap Uggerud. Zhu Di (1360-1424), putra keempat Kaisar Hongwu, mengambil alih kekuasaan pada awal abad ke-15. Takhta ini diperoleh setelah serangkaian pemberontakan berdarah dengan kerabat dekatnya.
Zhu Di mengambil nama Yongle. Seperti ayahnya, ia mewakili ciri-ciri khas periode dinasti ini: Stabilitas relatif dalam masyarakat dan perbaikan kondisi kehidupan. Yongle juga terkenal akan pemerintahan yang brutal dan upaya keras untuk mengendalikan sistem air. Dialah yang memindahkan ibu kota dari Nanjing yang panas ke Beijing.
Kelak, Yongle memperoleh kehidupan abadi dalam sejarah karena menyelesaikan Kanal Besar. Ia juga mengirimkan kasim Zheng He sebagai kepala armada kapal melintasi Samudra Hindia menuju Afrika Timur.
Sebagai penguasa Kekaisaran Tiongkok, Yongle menunjukkan keinginannya untuk mendapatkan kekuasaan absolut. Dia telah meminta salah satu birokrat Konfusianisme paling dihormati di Tiongkok, Fang Xiaoru, untuk menulis pidato pelantikannya. Namun Fang menolak. Fang mengira Yongle adalah pengkhianat yang tidak menuruti kemauan ayahnya.
Karena itu, Fang dijatuhi hukuman mati dengan digergaji di pinggul. Untuk menunjukkan penolakannya terhadap kaisar baru, Fang berkata bahwa Kaisar Yongle harus melangkah lebih jauh. Yongle juga harus melalui aturan lama yaitu pemusnahan sembilan tingkat kerabat. Sekitar 800 kerabat dilaporkan dibunuh sementara Fang dipaksa menyaksikan semuanya. Setelah Fang digergaji menjadi dua, legenda mengatakan bahwa dia mencelupkan jarinya ke dalam darahnya sendiri dan menulis “perampok takhta”.
Dinasti Ming adalah dinasti di mana tidak ada batasan formal dalam menjalankan kekuasaan kaisar. Kekaisaran sangat kuat namun tidak memiliki supremasi hukum sama sekali. Kaisar melakukan pembunuhan ketika dirasa perlu dan orang-orang ditugaskan ke kerja kolektif bila diperlukan. Perbudakan semakin berkembang dan para kasim akhirnya membentuk birokrasi yang beranggotakan ribuan orang.
Dinasti ini juga membangun jaringan spionase yang luas terhadap warganya.
Dinasti agung dalam sejarah Kekaisaran Tiongkok
Periode Ming secara keseluruhan ditandai dengan stabilitas dan keharmonisan yang relatif. Di masa ini pertanian berkembang dan pejabat-pejabat yang berpendidikan tinggi memimpin Kekaisaran Tiongkok. Dinasti Ming berfungsi sebagai ilustrasi bahwa filsafat sosial Konfusianisme merupakan prasyarat bagi masyarakat yang baik di Tiongkok. Ada alasan ekonomi dan ekologi mengapa dinasti seperti itu menciptakan keharmonisan. Bahkan Dinasti Ming disebut sebagai dinasti agung.
Kekaisaran Tiongkok merupakan kekaisaran agraris yang metode budidayanya dominan didasarkan pada berbagai bentuk irigasi buatan, pengendalian sungai dan kanal. Diperkirakan total area yang mendapat irigasi buatan pada era Ming paling banyak sekitar 90 juta hektar.
Konon Dinasti Ming adalah “dalang” di balik peningkatan tiga kali lipat luas lahan budidaya dalam beberapa dekade. Kaisar Ming memulihkan dan memperbaiki ribuan tanggul, kanal, dan waduk, serta banyak tanggul baru yang dibangun.
Pada saat yang sama ketika kekaisaran menjamin pasokan dan keamanan air bagi para petani, posisi kaisar Ming semakin diperkuat.
Membangun tanggul bukanlah suatu pilihan, melainkan prasyarat mutlak untuk mempertahankan permukiman dan pertanian di dataran sepanjang Sungai Kuning. Sistem seperti ini memerlukan kekaisaran yang kuat agar dapat dibangun dan dipelihara serta diperbaiki. Hubungan penting antara masyarakat dan air ini berarti kerja sama antar wilayah di bawah kepemimpinan yang kuat.
Permata utama dari proyek pemindahan air yang tersebar luas di Tiongkok adalah Kanal Besar atau Kanal Kekaisaran. Dimulai pada abad kelima SM, kanal ini menjadi sistem komunikasi terpadu bagi kekaisaran untuk pertama kalinya pada abad ke-8 Masehi.
Kanal Besar menjadi tulang punggung sistem transportasi domestik Tiongkok. Sistem ini memungkinkan makanan, bahan mentah, dan tentara diangkut dari selatan ke utara. Keteraturan dan skalanya tidak dapat ditandingi oleh kerajaan mana pun.
Ketika Dinasti Ming memperpanjang dan memperluas Kanal Besar pada abad ke-15, itu merupakan pencapaian yang luar biasa. Kanal tersebut merupakan inti dari proyek yang sangat kompleks yang melibatkan pengendalian beberapa saluran air besar. Untuk itu diperlukan kekaisaran yang sangat kuat, efisien, dan kaya dengan birokrasi yang efisien. Semua itu diperlukan agar dapat menjaga administrasi seluruh kompleks kanal tetap berjalan lancar.
Kekuasaan kasim
Salah satu masalah besar yang dihadapi Dinasti Ming adalah maraknya korupsi di masyarakat. Kaisar pun menunjuk kasim untuk menjadi staff istana. Hal ini mengurangi kemungkinan persekongkolan keluarga melawan kaisar.
Pada tahun-tahun awal Dinasti Ming, kaisar melancarkan kampanye anti korupsi. Hukumannya tidak kenal ampun. Orang yang menerima suap dipotong-potong hingga mati sebagai hukuman. Dalam kasus yang lebih serius, seluruh klan secara kolektif dihukum mati.
Contoh yang paling terkenal adalah Liu Jin (1451-1510), seorang kasim berkuasa di masa pemerintahan Kaisar Zhengde (1506-1521). Ia dikenal sebagai salah satu orang paling korup dalam sejarah Tiongkok. “Juga dianggap sebagai salah satu orang terkaya di dunia sepanjang sejarah Tiongkok,” tambah Uggerud.
Di kediamannya, Liu Jin disebut menyimpan 450 kilogram emas dan 9.682 kilogram perak. Kaisar memerintahkan kematiannya menurut metode “seribu luka”. Selama 3 hari, Liu disebut telah ditikam sebanyak 3.357 kali.
Ketika banjir dan kekeringan menyebabkan pemberontakan rakyat dan kejatuhan Dinasti Ming
Di bawah pemerintahan Ming, legitimasi kaisar bergantung pada tidak dicabutnya Mandat Surga. Mandat ini memberikan kekuasaan yang unik kepada kaisar, namun juga membuat dirinya dan dinastinya rentan. Stabilitas tersebut mengasumsikan bahwa alam bermain secara tim, terutama sungai-sungai besar.
Ketika Yangtze dan Sungai Kuning gagal memberikan apa yang diharapkan masyarakat, hal ini berdampak pada perekonomian. Selain itu, legitimasi politik kaisar juga terancam. Sepanjang abad ke-16 dan ke-17, bencana banjir dan kekeringan terus terjadi. Meskipun dinasti tersebut memiliki kompetensi teknologi yang unggul, mereka tidak mampu mencegahnya.
Kanal Besar harus ditutup pada tahun 1571 dan 1572 karena banjir dan bahan makanan harus diangkut melalui jalan pantai yang tidak aman. Ketika Mandat Surga dicabut, rakyat mempunyai hak untuk menggulingkan penguasa mereka. Maka sering terjadi pemberontakan setelah terjadinya bencana alam dalam sejarah Kekaisaran Tiongkok.
Pada tahun terakhir dinasti tersebut, Kanal Besar juga harus ditutup, yang tentunya merupakan tanda berakhirnya Dinasti Ming. Dinasti Ming tidak mampu menahan pemberontakan yang terjadi setelahnya.
Para penakluk pindah dari utara dan Tembok Besar tidak membantu Ming. Orang-orang Manchu baru saja berbaris keluar dari sana. Sekitar 300 tahun setelah mereka merebut kekuasaan dengan menghancurkan Dinasti Yuan Mongol, kaisar Ming terakhir gantung diri. Di saat yang sama, penguasa asing sedang dalam perjalanan ke Beijing untuk merebut kekuasaan.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR