Nationalgeographic.co.id—Dalam lembah hidup manusia, perbudakan menjadi borok yang tertimbun sejarah. Meski demikian, para sejarawan membangkitkan kembali makna di balik nomenklatur 'perbudakan' ke dalam bentuk-bentuk modern.
Namun, sempatkah terbayang, siapakah tokoh keji yang mengawali tradisi perbudakan yang populer di hampir seluruh penjuru dunia di abad pertengahan? Sejarah dunia mencatat seorang tuan gagah dari Inggris yang bernama Sir John Hawkins.
John Hawkins merupakan penjelajah yang lahir di Plymouth, dari keluarga pedagang dan pelaut. Ayahnya bernama William, adalah orang Inggris pertama yang mengunjungi pantai Guinea di Afrika Barat pada tahun 1530-an.
Nigel Pocock dan Victoria Cook menulis kepada BBC dalam artikelnya berjudul The Business of Enslavement terbitan 17 Februari 2011. Ia mengisahkan pada tahun 1561, Hawkins telah melakukan beberapa perjalanan ke Kepulauan Canary.
Di sana ia mendengar tentang kemungkinan perdagangan budak antara Afrika Barat dan koloni-koloni Spanyol di Karibia. Ia mulai mempelajari itu dari segi komersil. Setelahnya, Hawkins memulai pelayaran pertamanya pada tahun 1562-1563.
Tak sembarangan, "penjelajahannya ini disokong dengan dukungan finansial dari pedagang London dan pejabat pemerintah serta dukungan Elizabeth I," imbuhnya.
Dia berlayar menyusuri pantai Afrika Barat dengan menangkap sekitar tiga ratus natives (penduduk asli), yang di mana beberapa tawanan itu ditangkap dari kapal budak Portugis. Setelahnya ia mulai menyebrangi Atlantik ke kawasan jajahan Spanyol.
Kawasan yang diduduki Spanyol nampaknya sangat membutuhkan tenaga bantuan, sehingga perdagangan dan penjualan manusia tidak dapat dielakkan. Berkat bisnis perbudakan itu, ia berhasil memperoleh keuntungan besar bagi para investornya.
Kesuksesan bisnis perbudakan itu terus mendorong Hawkins dalam melakukan dua pelayaran perdagangan budak selanjutnya. Ia melakukan pelayaran besarnya pada tahun 1564-1565 dan 1567-1569.
Kedua pelayarannya bersifat semi-resmi, diorganisir oleh William Cecil dan mendapat dukungan kerajaan. John Hawkins menyewa kapal Angkatan Laut Kerajaan dan berlayar di bawah standar kerajaan.
Mendengar kegemilangan Hawkins, ia terus diberi dukungan finansial oleh para pedagang London dan pejabat senior istana, termasuk menjadi favorit ratu, Robert Dudley, Earl of Leicester.
Baca Juga: Kerasnya Hidup Menjadi Helot, Budak Negara di Sejarah Yunani Kuno
Pada pelayaran ketiganya, ia melibatkan Francis Drake muda sebagai awaknya. Di momen itu, Hawkins memperbudak lebih dari empat ratus orang yang dibawanya dari kawasan Afrika Barat.
Meskipun bertempur dengan Spanyol di lepas pantai Meksiko, kehilangan kapal dan banyak awak kapal, serta tidak mendapatkan keuntungan dari pelayaran ketiganya, reputasi Sir John Hawkins tidak terpengaruh.
Dari tahun 1571 hingga 1581, Hawkins dipercaya menjadi anggota parlemen untuk Plymouth. Kemudian, pada tahun 1577 ia menjadi bendahara angkatan laut, jabatan yang pernah dipegang ayah mertuanya sebelumnya.
Dia dianugerahi gelar kebangsawanan pada bulan Juli 1588 atas jasanya melawan Armada Spanyol. Dia dan Drake memimpin pendirian skema perintis asuransi sosial yang dikenal sebagai Chatham Chest.
Asuransi Chatham Chest adalah gagasan brilian di zamannya dengan mengupayakan persentase gaji pelaut, digunakan sebagian untuk mendanai para pelaut yang terluka, cacat, dan lanjut usia.
Jiwa avonturnya belum berhenti sampai di situ. Pada tahun 1595, Hawkins meninggalkan Inggris bersama Sir Francis Drake dalam ekspedisi berburu harta karun lainnya ke Hindia Barat. Nahas, ia wafat di lepas pantai Puerto Riko.
Dalam catatan sejarah dunia, Sir John Hawkins telah membuktikan bahwa perdagangan segitiga antara Inggris, Afrika Barat, dan Brasil dapat diperluas ke komoditas baru dan berpotensi bernilai, yaitu budak belian Afrika yang menguntungkan.
Di sisi lain, ia juga menunjukkan bahwa perdagangan manusia bukanlah halangan bagi keberhasilan masyarakat Inggris. Dalam beberapa dekade setelah kematiannya, Inggris telah bergabung dengan Portugis, Belanda, dan Prancis sebagai negara digdaya.
Kejinya, negara-negara digdaya itu menjadi kaya karena memperjualbelikan manusia dan menggiatkan perdagangan budak, hingga menjadi negara-negara yang terkemuka dalam bisnis perbudakan di benua biru, bahkan dalam catatan sejarah dunia.
Pada abad ke-16 perbudakan sering kali diterima tanpa pertimbangan nilai moral. Era Victoria melihat Hawkins digambarkan sebagai bapak perdagangan budak Inggris yang tidak bermoral.
Menariknya, pada bulan Juni 2006, Andrew Hawkins, salah seorang keturunannya, secara terbuka meminta maaf atas tindakan Sir John Hawkins di masa lampau dalam perdagangan budak.
Pada tahun 2023, Dewan Kota Plymouth mengumumkan untuk mengganti nama sebuah kawasan akibat sejarah kelam Hawkins dalam perdagangan budak. Dewan kota berencana mengganti nama Sir John Hawkins Square menjadi Justice Square.
Source | : | BBC |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR