Nationalgeographic.co.id—Praktik perjudian telah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Selain Romawi, praktik perjudian ini pun cukup marak dilakukan di Kekaisaran Tiongkok.
Pada tahun 926, Huangfu Hui, seorang prajurit pada periode Lima Dinasti, memutuskan untuk mencoba meja judi di kamp militer. Ketika mencobanya, dia tidak berharap untuk mengubah sejarah Kekaisaran Tiongkok.
Tanpa banyak keberuntungan, Huangfu dengan cepat kehilangan semua uangnya dan berutang dalam jumlah yang cukup besar. “Merasa putus asa, dia mengambil langkah drastis,” tulis Sun Jiahui di laman World of Chinese.
Huangfu menculik jenderalnya dan memaksanya memulai pemberontakan melawan Kaisar Tiongkok saat itu. Kaisar Li Cunxu mengirim saudara angkatnya Li Siyuan untuk menumpas pemberontakan. Namun Li Siyuan malah bergabung dengan pasukan pemberontak dan merebut takhta. Setelah tentara pemberontak menyerang ibu kota dan membunuh kaisar, Huangfu menjadi pejabat provinsi.
Perjudian memiliki sejarah lebih dari 3.000 tahun di Tiongkok. Meskipun sejak 2.000 tahun yang lalu, Mencius menyatakan bahwa perjudian adalah perilaku tidak berbakti dan banyak dinasti di Kekaisaran Tiongkok mencoba melarangnya. Tapi praktik perjudian tetap ada di kalangan orang-orang dari semua lapisan masyarakat. Mulai dari kaisar, pejabat pemerintah, hingga masyarakat biasa.
Bentuk perjudian pertama yang tercatat dalam sejarah Tiongkok kuno
Bentuk perjudian pertama yang tercatat di Tiongkok diyakini muncul pada Dinasti Xia (2070 – 1600 SM) dan dikenal sebagai bo. Analytical Dictionary of Chinese Characters menyatakan, “Di masa lalu, Wu Cao menemukan bo.”
Wu Cao adalah seorang pejabat di Dinasti Xia dan bo mengacu pada permainan papan yang menggunakan 12 buah catur, yang disebut liubo. Meskipun aturannya tidak dapat dilacak oleh sejarawan modern, namun kedengarannya mirip dengan catur Tiongkok. Sebagian orang percaya liubo adalah pendahulu catur. Seiring dengan semakin populernya permainan ini, bo lambat laun menjadi istilah umum untuk semua jenis perjudian.
Perjudian di era Musim Semi dan Musim Gugur (770 – 476 SM) dan Negara-negara Berperang (475 – 221 SM)
Pada periode Musim Semi dan Musim Gugur (770 – 476 SM) dan Negara-negara Berperang (475 – 221 SM), bentuk perjudian menjadi lebih beragam. Selain permainan papan, kompetisi yang melibatkan hewan menjadi bentuk utama perjudian.
Di kalangan orang kaya, pacuan kuda sangat populer. The Records of the Grand Historian karya Sima Qian mencatat kisah terkenal dari periode Negara-Negara Berperang. Saat itu jenderal militer Tian Ji dan Raja Qi sering bertaruh pada pacuan kuda.
Mereka berdua memilih tiga kudanya sendiri dan mengklasifikasikannya menjadi tiga tingkatan menurut kecepatannya. Ada total tiga putaran balapan dan orang yang memenangkan dua putaran akan menjadi pemenang akhir.
Karena kuda raja, di setiap tingkatan, lebih baik daripada kuda Tian, Tian kalah berkali-kali. Kemudian, ahli strategi terkenal Sun Bin memberikan saran kepada Tian. Sarannya adalah untuk menggunakan kudanya yang paling lambat untuk bersaing dengan kuda terbaik raja pada balapan pertama.
Lalu gunakan kuda kelas duanya untuk balapan dengan kuda raja yang paling lambat pada balapan kedua. Kemudian gunakan kuda kelas satu miliknya harus berlari bersama kuda kelas dua milik raja pada perlombaan terakhir.
Akibatnya, Tian kalah pada putaran pertama namun memenangkan dua putaran terakhir. Ia memenangkan 1.000 tael emas dari raja. Saat ini, ungkapan Tiongkok “balapan kuda Tian Ji” mengacu pada memanfaatkan kekuatan diri sendiri dan menyerang kelemahan lawan.
Di kalangan masyarakat awam, pacuan anjing dan sabung ayam adalah bentuk perjudian yang disukai. Dalam The Commentary of Zuo, tercatat sebuah kasus kecurangan dalam sabung ayam. Di Negara Bagian Lu, Ji Pingzi dan Hou Zhaobo, dua pejabat tinggi, bertaruh pada sabung ayam.
Ji mengoleskan mustar pada sayap ayam jantannya untuk membutakan lawannya. Sementara Hou diam-diam memasang kait logam tajam ke kaki ayamnya sebagai senjata.
Ayam jago Hou memenangkan pertandingan dan kebencian pun muncul di antara kedua pria tersebut. Permusuhan mereka berujung pada pergulatan politik yang sengit, yang akhirnya menimbulkan kudeta di istana.
Dampak negatif perjudian makin meluas di Kekaisaran Tiongkok
Ketika perjudian semakin meluas, dampak negatifnya terhadap masyarakat menjadi semakin jelas. Seperti kasus Huangfu Hui, beberapa akibat perjudian sangat mematikan. Menurut Catatan Sejarawan Agung, Tuan Min dari Negara Bagian Song pernah bermain liubo dengan jenderal militer Nangong Zhangwan.
Mereka bertengkar karena permainan tersebut. Kemudian, Tuan Min menyebutkan fakta bahwa Nangong pernah ditangkap musuh untuk menghinanya. Nangong menjadi sangat marah hingga dia membunuh Tuan Min menggunakan papan permainan.
Insiden seperti ini lambat laun menjadi perhatian pemerintah. Pada periode Negara-Negara Berperang, Canon of Laws negara Wei, kode hukum paling awal yang ditulis secara sistematis di Tiongkok, menetapkan bahwa orang yang ketahuan berjudi akan didenda. Jika putra mahkota berjudi, ia akan dicambuk. Dan jika kedapatan berjudi lagi, ia akan digulingkan.
Pada Dinasti Qin, undang-undang menetapkan bahwa orang yang ikut serta dalam perjudian akan ditato di dahi sebagai hukuman.
Baca Juga: Singkap Dinamika Kekuasaan di dalam Tembok Harem Kekaisaran Tiongkok
Kaisar dan pejabat di Kekaisaran Tiongkok pun suka berjudi
Namun hal ini tidak menghentikan perkembangan perjudian. Masih banyak lagi cerita menggelikan tentang perjudian yang tercatat pada dinasti-dinasti berikutnya. Misalnya, menurut Kitab Han, Kaisar Xuan dari dinasti Han adalah seorang yang gila judi sebelum ia menduduki takhta.
Dia berutang banyak kepada seorang pria bernama Chen Sui. Setelah ia naik takhta, Kaisar Xuan menunjuk Chen untuk menjadi kepala prefektur Taiyuan sebagai bentuk pembayaran.
Pada tahun-tahun akhir Dinasti Han, permainan lain muncul, yang dikenal sebagai chupu. Chupu adalah permainan untung-untungan, di mana orang melempar lima dadu datar yang terbuat dari kayu. Setiap dadu memiliki dua sisi, satu hitam, dan satu putih.
Siapa pun yang mendapatkan lebih banyak warna hitam memenangkan permainan. Permainan ini masih menjadi tren hingga Dinasti Song dan chupu menjadi ungkapan untuk perjudian.
Menurut A New Account of the Tales of the World, jenderal militer Wen Jiao dari Dinasti Jin Timur adalah penggemar berat chupu. Dia sering memainkan permainan ini dengan pedagang lokal dan kehilangan banyak uang.
Dia bahkan pernah mempertaruhkan dirinya sendiri sebagai jaminan atas utang judinya. Kemudian temannya mengeluarkan sejumlah uang untuk membelinya dari kehidupan sebagai budak.
Pada Dinasti Tang, pertarungan jarung menjadi populer. Popularitasnya bertahan pada dinasti Song dan Ming berikutnya. Jia Sidao, perdana menteri Dinasti Song, begitu sering terlibat dalam pertarungan jangkrik sehingga ia dijuluki “Tuan Jangkrik”.
Kaisar Xuande dari Dinasti Ming juga disebut “Kaisar Jangkrik” karena alasan yang sama. Dia bahkan mempromosikan seorang pejabat yang menemukan jangkrik yang kuat untuknya. Meskipun Kaisar Xuande sebenarnya adalah seorang kaisar yang cukup sukses dalam hal lain, hobi ini menjadi noda pada reputasinya.
Kaisar Daozong dari Dinasti Liao juga seorang penjudi terkenal. Menurut The History of Liao, pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahannya, Daozong bahkan memerintahkan para pejabat untuk melemparkan dadu. Tujuannya untuk memutuskan siapa yang akan mendapat promosi.
Pada dinasti Ming dan Qing, permainan kartu mulai populer. Mahyong juga ditemukan dan perjudian menjadi lebih luas dibandingkan sebelumnya. Dalam The Sketch Book of Liaozuo, sarjana Dinasti Qing, Wang Yiyuan menggambarkan orang-orang bermain siang dan malam. Seluruh negeri tampak gila.
Perjudian tetap ada di masing-masing dinasti ini, meskipun ada undang-undang yang melarangnya. Penulis Qing Pu Songling memperingatkan bahayanya, sebuah pengingat yang masih berlaku hingga saat ini.
Baca Juga: Chang'an, Ibu Kota Terpenting dan Terbesar di Kekaisaran Tiongkok
“Tidak ada apa pun di bawah langit yang dapat menghancurkan sebuah keluarga lebih cepat daripada perjudian. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat menghancurkan integritas moral seseorang lebih buruk daripada perjudian.”
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR