Nationalgeographic.co.id—Pengorbanan adalah bagian penting dari sejarah manusia, dilakukan untuk berbagai alasan dari rasa syukur hingga apitasi dewa.
Artikel ini membahas teori-teori pengorbanan, dari persembahan sederhana hingga implikasi ekonomi dan sosial, memberikan wawasan tentang evolusi dan makna ritual ini di berbagai budaya.
Meski tidak ada teori tunggal yang menjelaskan semua praktik pengorbanan, pemahaman ini membuka pemikiran kita tentang pentingnya ritual ini dalam warisan budaya manusia.
Artikel ini mengajak Anda mengeksplorasi asal-usul dan pemahaman pengorbanan melalui berbagai lensa teoretis dan budaya.
Pengorbanan: Antara Hadiah dan Persekutuan
Sir Edward Burnett Tylor, antropolog Inggris, pada tahun 1871 mengusulkan bahwa pengorbanan bermula dari tradisi memberi hadiah kepada dewa-dewa. Menurutnya, ini berubah dari tindakan mencari kebaikan dewa menjadi penghormatan tanpa harapan imbalan, dan akhirnya menjadi penyerahan diri sepenuhnya.
Namun, seperti dilansir dari Britannica, teori Tylor tidak bisa menjelaskan kenapa kadang-kadang pengorbanan justru dimakan oleh pemuja.
Di sisi lain, William Robertson Smith, sarjana Semitik dari Skotlandia, mengemukakan teori yang berbeda. Ia berpendapat bahwa pengorbanan adalah cara untuk mempererat ikatan antara manusia dan dewa mereka melalui makanan.
Smith mengaitkan ini dengan totemisme yaitu sistem religi yang berkeyakinan bahwa warga kelompok unilineal adalah keturunan dewa-dewa nenek moyang, moyang yang satu dengan lainnya mempunyai hubungan kekerabatan. Dalam sistem ini, hewan atau tanaman totem dimakan dalam ritual untuk memperkuat persatuan kelompok dan totem.
Pengorbanan, menurut Smith, adalah perayaan persekutuan ini, yang kemudian berkembang menjadi bentuk pengorbanan lain seperti penebusan dan hadiah.
Meskipun teorinya memiliki kelemahan, seperti asumsi universalitas totemisme dan tidak dapat menjelaskan pengorbanan holocaust, gagasan Smith tentang pengorbanan sebagai persekutuan sakramental tetap berpengaruh.
Baca Juga: Mengulik Sejarah Dunia, Praktik Kuno Pengorbanan Anak di Kartago
Dengan demikian, kedua teori ini memberikan wawasan berbeda tentang praktik pengorbanan, masing-masing dengan kekuatan dan keterbatasannya sendiri. Pengorbanan sebagai hadiah atau sebagai persekutuan, kedua konsep ini telah membentuk pemahaman kita tentang ritual kuno ini.
Kompleksitas Simbolis dan Praktis dari Pengorbanan
Sir James George Frazer, antropolog Inggris, dalam The Golden Bough menggambarkan pengorbanan sebagai praktik magis yang meremajakan dewa melalui ritual pembunuhan.
Konsep ini berkaitan dengan pemimpin suku yang memiliki 'mana' atau kekuatan suci. Ketika pemimpin melemah, ia digantikan untuk mempertahankan kesejahteraan suku. Dalam konteks ini, pengorbanan berfungsi sebagai metode pembaruan dan penebusan.
Sementara itu, Henri Hubert dan Marcel Mauss, melalui studi mereka tentang pengorbanan Hindu dan Ibrani, menekankan bahwa pengorbanan mengubah kondisi moral pelaku atau objek yang dikhususkan. Kedua sosiolog Prancis tersebut setuju dengan Smith bahwa pengorbanan menciptakan jembatan antara dunia suci dan profan (tidak suci), terutama melalui partisipasi dalam makanan suci.
Mauss juga memperluas konsep pengorbanan sebagai hadiah, mengacu pada prinsip timbal balik yang terkandung dalam rumus Latin 'do ut des' atau dalam Veda, yang menyiratkan pertukaran antara manusia dan dewa.
Menurut Mauss, hadiah tidak hanya merupakan objek tetapi juga bagian dari diri pemberi, menciptakan ikatan kuat dan aliran kekuatan dua arah antara pemberi dan penerima.
Gerardus van der Leeuw yang merupakan sejarawan agama asal Belanda mengambil langkah lebih lanjut. Dia menginterpretasikan pengorbanan sebagai pembukaan sumber hadiah yang diberkati, bukan sekadar pertukaran atau penghormatan. Baginya, kekuatan pengorbanan terletak pada hadiah itu sendiri, bukan pada dewa atau pemberi.
Dengan demikian, pandangan Frazer, Hubert, Mauss, dan van der Leeuw memberikan perspektif yang beragam namun saling melengkapi tentang pengorbanan, dari pembaruan magis hingga ikatan sosial dan spiritual yang kompleks. Pengorbanan, dalam berbagai bentuknya, adalah tindakan yang kaya dengan makna simbolis dan praktis.
Pengorbanan Sebagai Evolusi Budaya
Para antropolog Jerman memberikan pandangan bahwa sejarah manusia dapat dipahami sebagai rangkaian fase budaya yang saling terkait. Leo Frobenius memperkenalkan konsep Kulturkreislehre, yang membedakan antara fase kreatif suatu budaya—di mana ide-ide baru muncul—dan fase aplikasi, di mana makna ide-ide tersebut mulai memudar.
Baca Juga: Di Sejarah Aztec, Pengorbanan Manusia Cegah Kegelapan dan Akhir Dunia
Dalam kerangka ini, Adolf E. Jensen mengeksplorasi asal-usul pengorbanan darah, yang ia kaitkan dengan transisi dari budaya pemburu-pengumpul ke budaya pertanian.
Menurutnya, mitos kuno tentang dewa Dema, yang dibunuh dan menjadi sumber kehidupan, adalah fondasi dari praktik pengorbanan darah. Ritual pembunuhan ini bukanlah tindakan pengorbanan dalam arti tradisional, tetapi lebih merupakan upaya untuk mengenang peristiwa mitologis yang menentukan.
Sigmund Freud, dalam Totem und Tabu, mengusulkan teori yang berbeda, berdasarkan kompleks Oedipus yang ia anggap universal. Ia berpendapat bahwa ritual pembunuhan hewan adalah cara simbolis untuk mengulangi pembunuhan ayah purba.
Hal ini mencerminkan keinginan bersama untuk kematian dan rekonsiliasi dengan figur ayah. Meskipun Freud menganggap teorinya historis, banyak yang meragukan validitas historisnya.
Kedua pendekatan ini menawarkan wawasan tentang bagaimana pengorbanan darah dan ritual terkait dapat dilihat sebagai bagian dari evolusi budaya manusia, dengan setiap teori menyoroti aspek yang berbeda dari praktik kuno ini.
Dorongan Faktor Ekonomi
Raymond Firth, antropolog asal Selandia Baru, pada tahun 1963 meneliti bagaimana ekonomi mempengaruhi praktik pengorbanan dalam masyarakat. Ia menemukan bahwa faktor ekonomi seperti ketersediaan sumber daya memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana dan kapan pengorbanan dilakukan.
Pengorbanan kolektif, misalnya, tidak hanya menyatukan komunitas tetapi juga membantu mendistribusikan beban ekonomi secara lebih merata. Firth berpendapat bahwa meskipun pengorbanan adalah tindakan simbolis pemberian diri, sering kali tindakan tersebut dipandu oleh logika ekonomi.
Di pertengahan abad ke-20, fokus antropolog sosial dan sejarawan agama bergeser dari teori evolusi global ke studi mendalam tentang masyarakat tertentu. Sejak Perang Dunia II, sedikit teori umum yang muncul tentang asal-usul pengorbanan, namun banyak penelitian mendalam tentang praktik pengorbanan dalam konteks budaya spesifik.
Sebagai contoh, E.E. Evans-Pritchard dari Universitas Oxford, melalui penelitiannya tentang suku Nuer di Sudan Selatan. Evans-Pritchard menemukan bahwa pengorbanan bagi mereka adalah cara untuk menghindari malapetaka atau penyakit. Komunikasi dengan dewa dilakukan bukan untuk persahabatan tetapi untuk menjauhkan dewa.
Evans-Pritchard mengakui keragaman praktik pengorbanan di antara Nuer dan kesulitan untuk merumuskan teori universal yang menjelaskan semua bentuk pengorbanan. Ini menunjukkan bahwa pengorbanan adalah fenomena kompleks yang sulit dipahami sepenuhnya dalam satu kerangka teori.
Dengan memahami berbagai teori tentang asal-usul pengorbanan, kita dapat menghargai kompleksitas dan kedalaman praktik ini dalam sejarah manusia. Setiap teori membuka jendela baru untuk mengeksplorasi makna dan evolusi pengorbanan di berbagai budaya dan zaman.
Dua Pendaki Wanita Meninggal dalam Tragedi Puncak Cartenz Papua, Ini Profil dan Kronologinya
KOMENTAR