Dalam kerangka ini, Adolf E. Jensen mengeksplorasi asal-usul pengorbanan darah, yang ia kaitkan dengan transisi dari budaya pemburu-pengumpul ke budaya pertanian.
Menurutnya, mitos kuno tentang dewa Dema, yang dibunuh dan menjadi sumber kehidupan, adalah fondasi dari praktik pengorbanan darah. Ritual pembunuhan ini bukanlah tindakan pengorbanan dalam arti tradisional, tetapi lebih merupakan upaya untuk mengenang peristiwa mitologis yang menentukan.
Sigmund Freud, dalam Totem und Tabu, mengusulkan teori yang berbeda, berdasarkan kompleks Oedipus yang ia anggap universal. Ia berpendapat bahwa ritual pembunuhan hewan adalah cara simbolis untuk mengulangi pembunuhan ayah purba.
Hal ini mencerminkan keinginan bersama untuk kematian dan rekonsiliasi dengan figur ayah. Meskipun Freud menganggap teorinya historis, banyak yang meragukan validitas historisnya.
Kedua pendekatan ini menawarkan wawasan tentang bagaimana pengorbanan darah dan ritual terkait dapat dilihat sebagai bagian dari evolusi budaya manusia, dengan setiap teori menyoroti aspek yang berbeda dari praktik kuno ini.
Dorongan Faktor Ekonomi
Raymond Firth, antropolog asal Selandia Baru, pada tahun 1963 meneliti bagaimana ekonomi mempengaruhi praktik pengorbanan dalam masyarakat. Ia menemukan bahwa faktor ekonomi seperti ketersediaan sumber daya memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana dan kapan pengorbanan dilakukan.
Pengorbanan kolektif, misalnya, tidak hanya menyatukan komunitas tetapi juga membantu mendistribusikan beban ekonomi secara lebih merata. Firth berpendapat bahwa meskipun pengorbanan adalah tindakan simbolis pemberian diri, sering kali tindakan tersebut dipandu oleh logika ekonomi.
Di pertengahan abad ke-20, fokus antropolog sosial dan sejarawan agama bergeser dari teori evolusi global ke studi mendalam tentang masyarakat tertentu. Sejak Perang Dunia II, sedikit teori umum yang muncul tentang asal-usul pengorbanan, namun banyak penelitian mendalam tentang praktik pengorbanan dalam konteks budaya spesifik.
Sebagai contoh, E.E. Evans-Pritchard dari Universitas Oxford, melalui penelitiannya tentang suku Nuer di Sudan Selatan. Evans-Pritchard menemukan bahwa pengorbanan bagi mereka adalah cara untuk menghindari malapetaka atau penyakit. Komunikasi dengan dewa dilakukan bukan untuk persahabatan tetapi untuk menjauhkan dewa.
Evans-Pritchard mengakui keragaman praktik pengorbanan di antara Nuer dan kesulitan untuk merumuskan teori universal yang menjelaskan semua bentuk pengorbanan. Ini menunjukkan bahwa pengorbanan adalah fenomena kompleks yang sulit dipahami sepenuhnya dalam satu kerangka teori.
Dengan memahami berbagai teori tentang asal-usul pengorbanan, kita dapat menghargai kompleksitas dan kedalaman praktik ini dalam sejarah manusia. Setiap teori membuka jendela baru untuk mengeksplorasi makna dan evolusi pengorbanan di berbagai budaya dan zaman.
KOMENTAR