Nationalgeographic.co.id—Sejak kapan nenek moyang kita bermain layang-layang? Sejauh ini belum ada jawaban yang pasti. Namun, gambar cadas prasejarah figur manusia bermain layang-layang di sebuah gua di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, setidaknya telah memberi petunjuk. Tampaknya, peranti layang-layang telah dikenal nenek moyang kita sejak ribuan tahun silam.
Layang-layang dikenal sebagai mainan yang terbuat dari kertas berkerangka yang diterbangkan ke udara dengan menggunakan tali atau benang sebagai kendali. Nama layang-layang juga disematkan sebagai nama burung yang biasa melayang-layang. Tradisi permainan layang-layang pernah populer di kalangan anak-anak Nusantara.
Saya menjumpai Amronshah, lelaki berusia 60 tahun yang bercambang dan berjenggot putih. Ia merupakan pegiat budaya di Sanggar Layang-layang Purnama, Kota Dumai.
"Waktu saya kecil dulu, masih jumpa ini layang-layang digunakan untuk mengusir hama saat panen padi," ujarnya. "Layang-layang digunakan para petani saat panen untuk mengusir burung-burung," ujarnya sembari mengenang masa kecil.
Layang ini memiliki pitu-pitu, yang menghasilkan bunyi mendengung. Bunyi itulah yang digunakan untuk menghalau. burung-burung.
Selain digunakan para petani padi, ia juga menyaksikan nelayan-nelayan setempat bermain layang-layang di sore hari ketika musim angin kuat yang menyebabkan mereka tidak bisa melaut.
"Namanya, layang-layang kuau," ujarnya. "Burung kuau." Kuau merujuk nama burung yang berhabitat di Sumatra, yang kini semakin langka dijumpai. "Burung ini tidak dapat terbang, jadi hidupnya di darat saja," imbuhnya.
Namun, seiring menyempitnya persawahan, layang-layang pengusir burung pun kian langka. "Sekarang tidak ada lagi padi di sini," ujarnya. "Sudah habis."
Semenjak awal 1990-an Amronshah pun berhasrat untuk melestarikan tradisi ini karena ia menyadari bahwa layang-layang kuau merupakan bagian jati diri budaya Melayu Riau pesisir.
Namun, di sisi lain ia menyaksikan juga bahwa anak-anak tak lagi berminat bermain layang-layang. Kemudian, untuk menumbuhkan minat itu kembali, ia menggelar pelatihan-pelatihan kepada anak-anak dari tingkat pelajar.
"Saya mengajarkan pembuatan layang-layang kuau ini dari lidi sawit sampai bisa naik," ungkapnya. "Saya ini bimbang, apabila saya tidak kembangkan barang ini pasti punah."
Tantangan yang dihadapi Amronshah sekarang ini adalah upaya pelestarian yang bersaing dengan permainan-permainan daring. Ia menyiasatinya dengan mengadakan lomba layang-layang, meski hadiahnya tidak besar—seperti buku, tas, dan peralatan sekolah. Selain itu ia juga telah mengupayakannya menjadi mata pelajaran budaya Melayu Riau di sekolah.
"Kami dipanggil sekolah untuk mengajarkan anak-anak membuat layang-layang, sambil mengajarkan teknik tebuk isi," ujarnya berbinar-binar. "Alhamdulillah sekarang sudah banyak anak-anak sekolah yang bisa membuat layang-layang kuau."
Kini, Amronshah bersama komunitasnya telah melestarikan juga pola ragam hias yang menjadi bagian layang-layang kuau raja tebuk isi. Mereka juga melestarikan unsur-unsur dari luar daerah dumai seperti pitu-pitu, yang berasal dari masyarakat Bugis yang mendiami pesisir Riau. Pitu-pitu merupakan benang dalam bentangan rotan, yang memiliki tujuh nada.
"Apa sebab kita ambil pitu-pitu?" ujarnya. "Riau pesisir ini bukan saja Melayu dan Jawa, tetapi juga suku Bugis asal Sulawesi. Kebetulan bunyi-bunyian itu menarik kita untuk memasukkan ke situ menjadi kolaborasi budaya."
Kita menjumpai keberadaan budaya masyarakat Bugis hampir di seluruh penjuru Nusantara. Mereka memiliki sebutan lain sebagai pelaut ulung. Menurut Anthony Reid dalam bukunya bertajuk Menuju Sejarah Sumatra, mengungkapkan bahwa orang-orang Bugis mungkin mulai mendiami Sumatra sekitar akhir abad ke-17 sampai abad ke-18.
Pengerjaan layang-layang kuau
Dalam mempersiapkan bambu, Amronshah memiliki aturan waktu pengambilan bambu terbaik menurut tradisi leluhur. "Kita mengambil bambu harus di bulan gelap," ujarnya. "Kalau kami mengambil bambu pas bulan terang, bambu itu mudah dimakan bubuk atau rayap."
Setelah mengambil bambu sesuai apa yang kita butuhkan, ia merendamnya selama tiga bulan. Tujuannya untuk menghilangklan kadar asam pada bambu. Setelah tiga bulan, ia mengangkatnya dari rendaman. Kemudian, ia menjemur bambu-bambu hasil rendaman itu selama satu minggu atau sampai kering. Barulah, ia merautnya untuk merakit layang-layang.
Untuk ragam hiasnya melalui proses "tebuk isi", yakni membuat pola ragam hias lalu mengisinya dengan kertas-kertas warna. Amronshah mengembangkan ragam hias sederet puspa khas pesisir Riau, seperti bunga raya dan daun pakis. Setiap warna pada bunga dan daun memiliki makna. Contoh, warna merah keberanian, warna hijau kemakmuran, warna kuning kewibawaan.
Dia menambahkan, "Sekarang ini kami jumpa suatu tanaman hampir punah, sehingga akan kami tuangkan ke ukiran pada layang-layang. Nama tanamannya periuk kera"—sejenis kantong semar.
Layang-layang kuau raja tabuk isi telah merekam budaya dan ekologi yang terancam di pesisir Sumatra. "Tujuan kami tak lain dan tak bukan adalah untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan di Riau pesisir supaya anak cucu kami ke depan bisa mengenal bahwa tanaman ini ada di Riau," ujar Amronshah. "Boleh jadi, apa yang kami jumpai yang langka akan kami curahkan ke ukiran kami."
Amronshah telah memberikan yang terbaik bagi upaya pelestarian budaya Riau. Atas gagasan dan upayanya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menetapkan bahwa layang-layang kuau raja tabuk isi sebagai warisan budaya takbenda Indonesia.
Kendati bergerak secara independen, sejatinya komunitas Sanggar Layang-layang Purnama memerlukan dukungan berbagai pihak dalam pekerjaan-pekerjaan pelestarian. "Kami akan kembangkan ini bagaimana caranya," ujar Amronshah. "Walaupaun tidak ada bantuan, kami tetap mengadakan pelestarian ini sampai ada generasi penerus kami."
—Kisah ini merupakan bagian Kabar dari Malaka, laporan jurnalistik National Geographic Indonesia dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR