Nationalgeographic.co.id—25 tahun yang lalu, saat era Reformasi baru menyongsong Indonesia, Maluku dibakar konflik. Perpecahan ini melibatkan sentimen etnis dan agama, yang disebabkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang terjadi secara umum di Indonesia.
Kerusuhan di Maluku perlahan-lahan padam, setelah penandatanganan Piagam Malino II pada Februari 2003. Upaya perdamaian ini bukan hanya dari upaya pemerintah dan aparat, melainkan masyarakat setempat yang memiliki narasi damai.
Salah satunya, perdamaian yang dirawat dengan narasi mitos. Hal ini diungkap oleh Geger Riyanto, pengajar antropologi Universitas Indonesia dalam disertasinya yang rampung pada 2022.
Dalam penelitian Geger, masyarakat di Seram Utara, terdiri dari beragam jenis etnis. Orang Seram adalah yang pertama tinggal di pulau ini. Konon, dalam mitologi Maluku, orang Seram berasal dari gunung di tengah Pulau Seram.
Orang Maluku percaya bahwa Pulau Seram adalah Ibu Bumi yang melahirkan leluhur pertama mereka, seorang perempuan bernama Alifuru Ina. Sosok Alifuru Ina ini tinggal di Gunung Murkele Kecil, sebagaimana yang telah ditulis di artikel sebelumnya.
Singkat cerita, menurut mitologi Maluku, Alifuru Ina ini melahirkan penduduk awal Pulau Seram. "Pada suatu ketika, mereka turun dari gunung dan tersebar ke penjuru Seram. Entah apa alasannya, mungkin pertikaian atau akses sumber daya alam, tetapi itu yang dipercaya oleh orang Seram," terang Geger.
"Entah apa yang sebenarnya terjadi [dalam sejarah], menarik untuk diteliti lagi," lanjutnya.
Orang Seram yang bermigrasi ke utara kemudian mendirikan Kerajaan Mumusikoe. Di sinilah, orang Seram yang ada bermukim hingga hari ini. Cerita ini dipercaya sejak turun temurun oleh orang Seram Utara.
Dalam sejarah, Pulau Seram telah didatangi oleh banyak orang dari berbagai daerah Nusantara, salah satunya orang Buton dari Sulawesi Tenggara. Geger memperkirakan kedatangan orang Buton ke Pulau Seram disebabkan mencari lahan pertanian baru.
Keberadaan orang Buton juga bisa diperkirakan lebih jauh lagi semasa Kesultanan Ternate (1257–sekarang) dan Kesultanan Tidore (1081–1815) yang bersaing. Pengaruh Kesultanan Ternate mencakup wilayah barat, termasuk Seram dan Sulawesi Tenggara yang kemudian menjadi persekutuan penguasa kecil disebut Uli Lima.
Persekutuan Uli Lima ini adalah saingan Uli Siwa, persekutuan Kesultanan Tidore dengan pengaruhnya yang mencapai barat pulau Papua.
Baca Juga: Dua Kali Konflik Besar Maluku, Perang Saudara setelah Kemerdekaan RI
Geger melanjutkan, kehadiran orang Buton di Seram kemudian semakin bertambah pada masa kolonialisme Eropa sejak abad ke-15. Pembukaan lahan perkebunan di Seram melibatkan tenaga kerja orang luar Seram, termasuk Buton. Hal ini menyebabkan gelombang migrasi berikutnya dari Sulawesi Tenggara.
Kemudian keragaman etnis di Seram semakin bertambah, terutama ketika program transmigrasi diadakan oleh pemerintah Indonesia. Program transmigrasi ini paling gencar semasa Orde Baru.
Akan tetapi, program transmigrasi ini mengakibatkan ketimpangan bagi masyarakat Seram yang sudah lama bermukim. Hal inilah yang kemudian menyebabkan konflik di Maluku pada 1999. Orang Buton yang dianggap sebagai kelompok masyarakat pendatang pun menjadi sasarannya.
Keajaiban Mitos yang Mendamaikan
Konflik Maluku baru mereda setelah Piagam Malino II pada 2002. Geger mengatakan, masyarakat di Seram mengupayakan kehidupan yang damai dan mencegah pertikaian sejenis terulang.
"Bahkan ada yang bilang 'akhirnya kita damai juga, ya'," tutur Geger. "Orang Seram di Seram Utara juga merasa berhati-hati ketika bercerita tentang kenangan pahit, supaya tidak menyinggung orang (etnis) Buton."
Menariknya, dalam mitologi Maluku terkait asal-usul kependudukan Seram Utara dituturkan orang Seram dengan melibatkan kehadiran orang Buton. Disebutkan bahwa ketika leluhur orang Seram datang ke Seram Utara, mereka menjumpai makhluk berkepala manusia dan berbadan ular. Orang Seram percaya bahwa makhluk tersebut adalah leluhur orang Buton.
"Orang Buton, baik di Sulawesi maupun di Seram, punya mitos serupa yang disebut La Ode Wuna," terang Geger. La Ode Wuna, dalam mitologi Buton, disebutkan sebagai anak raja yang diusir atau kabur dari ayahnya yang merupakan raja di Sulawesi Tenggara. La Ode Wuna berubah menjadi ular berkepala manusia, pergi ke laut, dan tidak kembali.
"Menariknya, cerita ini tidak ada dalam mitos orang Seram dekade 1960-1970-an," kata Geger. "Cerita La Ode Wuna juga tidak populer di Sulawesi, tapi kalau [orang Buton] di Seram, cerita ini diceritakan di mana-mana. Bisa dibilang, cerita La Ode Wuna hanya mitos kecil orang Buton di Sulawesi, tapi sangat populer di sini."
Ketika cerita orang Seram yang berjumpa dengan makhluk ini dalam mitologinya, hal ini membawa perspektif berbeda. Bagi orang Buton di Seram, cerita ini dianggap bahwa kehadiran mereka sudah ada sejak lama.
Baca Juga: Molukse Wijk, Tempat Penampungan Ribuan Orang Maluku di Belanda
Sedangkan bagi orang Seram Utara sendiri, cerita ini menunjukkan bahwa mereka sudah sejak lama hidup bersama dengan orang Buton, bahkan dalam asal-usul kependudukan.
Penelitian Berprestasi
Hasil temuan ini dipublikasikan dalam disertasi Geger bertajuk "Misunderstanding and Suspicion of Mythical Incorporation Among the Butonese of North Seram". Penelitian ini dilakukan sejak 2018, ketika Geger menempuh studi doktoral di Institut für Ethnologie der Universität Heidelberg, Jerman.
Topiknya yang mendamaikan ini menjadikan penelitiannya dianugerahi sebagai "Disertasi Antropologi Terbaik di Negara-Negara Berbahasa Jerman" oleh Frobenius Institute pada Oktober 2023.
"Indonesia itu menjadi tempat yang selalu menarik untuk melakukan studi antropologi," terang Geger. "Buat saya [yang] menarik untuk dilakukan adalah kita pakai antropologi dalam rangka membangun perspektif [masyarakat] kita sendiri yang lebih jelas."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR