Nationalgeographic.co.id—Bayangkan duduk di meja panjang yang penuh dengan hidangan lezat, dikelilingi oleh para bangsawan dan pejabat Kekaisaran Tiongkok.
Jamuan Manchu-Han Feast, sebuah tradisi kuliner yang telah punah, menawarkan pengalaman bersantap yang tak terlupakan dengan bahan-bahan langka dan eksotis, seperti tangan beruang.
Artikel ini akan membawa Anda dalam perjalanan menelusuri sejarah dan kemewahan jamuan Manchu-Han Feast. Kita akan menjelajahi asal-usulnya, hidangan khas yang disajikan, dan makna budaya di balik tradisi ini.
Semua hal tersebut dikisahkan oleh Paul Levy melalui laman The Spectator. Buku China in Seven Banquets: A Flavourful History karya Thomas David DuBois menjadi sumber rujukan yang digunakan oleh Levy.
Hidangan melimpah yang wajib dihabiskan
Pada bulan Februari 1985, Hotel Mandarin Hong Kong merayakan ulang tahun ke-21 dengan sebuah acara yang luar biasa: rekonstruksi mewah jamuan kekaisaran Dinasti Qing.
Levy, salah satu tamu undangan yang beruntung, berkesempatan merasakan pengalaman menyantap hidangan lezat dan menyaksikan kemegahan tradisi yang telah berusia berabad-abad.
Acara ini terinspirasi dari jamuan makan besar yang diadakan oleh Kaisar Kangxi (1654-1722) dan cucunya, Kaisar Qianlong (1711-1799). Kaisar Kangxi memulai tradisi ini selama kunjungannya ke China Selatan, mengadakan enam jamuan besar antara tahun 1684 dan 1707.
Berbeda dengan protokol istana kekaisaran yang kaku di Beijing, pesta-pesta di provinsi ini terkesan lebih santai, sering kali diadakan di tenda.
Jamuan-jamuan ini memadukan beberapa aspek dari "Man banquet" bangsa Manchuria yang berkuasa dengan "Han banquet" khas Han Tionghoa. Hidangan lengkap Manchu-Han yang terdiri dari tiga hari ini biasanya hanya diadakan di Beijing.
"Perjalanan Kaisar Kangxi dan Qianlong ke berbagai wilayah Tiongkok Selatan tidak hanya membawa mereka pada kekayaan budaya dan pemandangan baru, tetapi juga membuka cakrawala kuliner mereka," tulis Levy.
Baca Juga: Mural Menakjubkan dari Kekaisaran Tiongkok yang Gambarkan Keseharian
Berkat perjalanan inilah, bersamaan dengan pesatnya perkembangan industri penerbitan buku masak, seperti yang dicontohkan oleh "Resep dari Taman Kepuasan" karya Yuan Mei, lahirlah konsep masakan nasional Tiongkok.
Konsep ini berbeda dengan era sebelumnya di mana masakan Tiongkok terkotak-kotak berdasarkan wilayah. Para kaisar mendatangkan koki-koki terbaik dari seluruh penjuru negeri dan mengumpulkan bahan-bahan istimewa dari berbagai daerah.
Melalui jamuan makan yang mewah dan pertukaran budaya antar koki, bangsa Manchu yang berkuasa - asalnya dari utara - mulai mengenal dan mengapresiasi kekayaan kuliner dari selatan, khususnya masakan Kanton yang terkenal dengan cita rasa yang kompleks dan teknik memasaknya yang halus.
Seperti yang digambarkan oleh DuBois dalam bukunya, hidangan tradisional Manchu kaya akan daging, terutama babi, ikan, dan rusa. Pesta tahunan mereka pun identik dengan pesta daging yang meriah, di mana para tamu diharuskan menyantap hidangan dengan porsi berlimpah.
Sajian mewah tanpa unsur sapi
Awalnya, Manchu-Han Feast merupakan acara diplomatik yang terkelola ketat, di mana hidangan dan protokolnya dirancang untuk memperkuat hubungan antara bangsa Manchu dan Han. Namun, seiring waktu, tradisi ini berkembang menjadi jenis masakan tersendiri yang digemari banyak orang.
DuBois dalam bukunya menuliskan bahwa rekonstruksi mewah Manchu-Han Feast yang dihadiri Levy di tahun 1985 bukanlah satu-satunya.
Tradisi ini telah direproduksi "oleh pemerintah daerah, hotel, dewan pariwisata, acara televisi, dan koki terkenal" untuk berbagai tujuan, mulai dari menarik wisatawan hingga melestarikan budaya Tiongkok.
Levy masih ingat bagaimana restoran Man Wah di Mandarin Hotel didekorasi ulang secara total untuk setiap jamuan makan Manchu-Han Feast. Menunya pun sangat istimewa, menampilkan hidangan dari berbagai spesies langka seperti musang, tangan beruang, dan bangau.
Untuk malam terakhir, para tamu bahkan diberi kostum bangsawan kekaisaran agar mereka dapat merasakan pengalaman yang lebih autentik.
"Flavouring the Pot" tidak hanya menunjukkan absennya daging sapi, tetapi juga bahan-bahan lain yang umum ditemukan dalam jamuan sebelumnya, seperti susu, mentega, dan krim. Hal ini berbeda dengan jamuan Manchu-Han Feast yang lebih awal, di mana bahan-bahan ini hadir.
Baca Juga: Asal-usul Mandat Surga yang Membentuk Sejarah Kekaisaran Tiongkok
Ketika Paul Levy pertama kali mengunjungi Tiongkok pada tahun 1980, dia diberitahu bahwa intoleransi laktosa adalah hal yang umum di sana. "Namun, Tiongkok saat ini telah mengalami transformasi besar dalam hal konsumsi produk susu," papar Levy.
Kemunculan restoran waralaba, budaya pesan-antar, dan take-out telah mendorong konsumsi berbagai produk susu, termasuk keju olahan. Meskipun awalnya banyak orang Tiongkok yang enggan mengonsumsi keju, seiring waktu mereka mulai menerimanya.
Kebutuhan akan produk susu dipenuhi dengan impor dari negara-negara seperti Selandia Baru. Di sisi lain, Tiongkok juga memiliki industri susu lokal yang besar. Namun, industri ini tidak luput dari skandal pemalsuan dan korupsi, seperti yang sering terjadi di berbagai sektor di Tiongkok.
Perubahan kebijakan di tahun 1990-an yang memicu pertumbuhan ekonomi pesat di Tiongkok membawa pengaruh besar pada lanskap kulinernya. Negara ini mulai beralih fokus untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik, bahkan menjadi importir bersih kedelai, bahan utama minyak goreng dan pakan ternak babi.
"Menjelang akhir dekade 1990-an, kemunculan McDonald's dan KFC di kota-kota Tiongkok menjadi simbol nyata globalisasi yang telah tiba," jelas Levy.
Pasar tradisional basah mulai tergantikan oleh jaringan supermarket modern, dan restoran tradisional dengan gerai tunggal mulai tergerus oleh waralaba yang menawarkan kemudahan dan standar rasa yang seragam.
Menurut DuBois, bergabungnya Tiongkok ke Organisasi Perdagangan Dunia bagaikan "menambahkan bahan bakar roket" pada tren transformasi kuliner ini. Di banyak daerah, hidangan lokal favorit mulai tergantikan oleh merek global, jaringan nasional, dan cita rasa yang seragam.
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melanda Tiongkok, muncul pula tren yang berlawanan: keinginan untuk kembali ke akar dan melestarikan tradisi. Bagi sebagian konsumen, modernisasi tidak selalu berarti lebih baik.
"Mereka mencari keaslian dalam pola makan mereka, dengan kembali ke resep tradisional dan bahan-bahan alami," ungkap Levy.
Tren ini memicu penolakan terhadap organisme hasil rekayasa genetika, kemasan plastik, dan mendorong konsumsi makanan organik. Gerakan "slow food" dan CSA (Community Supported Agriculture) mulai berkembang, menghubungkan konsumen dengan petani dan peternak lokal seperti Little Donkey dan Shared Harvest.
Pemerintah pun merespon dengan mengakui dan mensertifikasi "merek lama terkenal" sebagai warisan budaya, seperti ham Jinhua, cuka hitam Zhenjiang, dan pasta kacang Pi Country dari Sichuan. Sertifikasi ini sejajar dengan produk bersertifikat terroir Barat seperti Champagne atau Parmigiano Reggiano.
Baca Juga: Sepak Terjang Kuomintang, Partai Nasionalis yang Tumbangkan Kekaisaran Tiongkok
Lebih menarik lagi, perdagangan daring melalui platform seperti JD.com dan Taobao.com justru menguntungkan banyak produsen warisan lokal ini. Konsumen di seluruh Tiongkok kini dapat dengan mudah menemukan dan membeli produk-produk tradisional berkualitas tinggi dari berbagai daerah.
Dampak negatif
Di balik kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan oleh layanan pesan antar makanan, terdapat beberapa dampak negatif yang perlu dipertimbangkan. Salah satunya adalah meningkatnya sampah kemasan plastik.
Selain itu, "dampak model pengiriman terhadap pengalaman bersantap di restoran" juga menjadi perhatian.
Kemunculan aplikasi pesan antar makanan seperti Eleme ("lapar?") dan Meituan telah mengubah lanskap kota-kota besar di Tiongkok. Sepeda sewaan dan layanan transportasi daring menggeser taksi tradisional, mengantarkan makanan dengan cepat dan praktis.
Kesuksesan aplikasi ini diraih dengan menawarkan harga yang murah dan beragam pilihan makanan. Namun, menurut DuBois, "bahkan makanan yang paling disiapkan dengan hati-hati pun akan sangat terpengaruh jika dikemas dalam kotak plastik dan didiamkan hingga dingin di suhu ruangan di belakang skuter."
Untuk mengatasi masalah rasa yang hilang akibat pendinginan dan pengemasan, restoran terpaksa menggunakan bumbu yang lebih kuat, seperti cabai, cuka, minyak, garam, dan MSG. Hal ini tentu saja dapat mengurangi nilai gizi dan cita rasa asli dari hidangan.
Hidilao, restoran hotpot yang didirikan pada tahun 1990-an, terkenal dengan keramahannya yang luar biasa. Mereka menawarkan layanan unik seperti manikur untuk pelanggan yang sedang makan dan membersihkan sepatu pelanggan.
"Keramahan ini mengingatkan kita pada jamuan makan para kaisar Qing yang penuh kemewahan," kenang Levy.
Seiring berjalannya waktu, Hidilao berkembang menjadi rantai restoran hotpot yang besar. Menariknya, mereka mempelopori konsep restoran "tanpa koki", di mana persiapan makanan dilakukan di luar lokasi di dapur pusat.
Cabang-cabang Hidilao (yang dimiliki secara terpusat, bukan waralaba) tetap mempertahankan reputasi mereka dalam hal pelayanan yang baik.
Ketika memesan Hidilao secara daring, "semuanya akan datang bersamaan," kata Dubois, seorang warga Tiongkok. Anda akan menerima makanan, saus, taplak meja kertas, piring sekali pakai, dan kompor listrik.
Setelah selesai makan, Anda cukup mengembalikan semua peralatan ke dalam kotak aslinya untuk diambil oleh staf. Pengalaman ini mirip dengan layanan kamar hotel.
KOMENTAR