Nationalgeographic.co.id—Pada tahun 1906, ketika Dinasti Qing memasuki tahun-tahun terakhirnya, Zhou Fu, Raja Muda Nanjing, menulis sebuah peringatan. Peringatan yang ditujukan kepada istana Kekaisaran Tiongkok menganjurkan penghapusan perbudakan.
Zhou meninggal 2 tahun kemudian, sebelum takhta dapat bertindak. Namun pada tahun 1909, Wu Weibing, seorang anggota sensor Kekaisaran Tiongkok, melanjutkan usaha Zhou. Ia memohon kepada takhta untuk menghormati permintaan Zhou.
Akhirnya, pada tanggal 31 Januari 1910, Dinasti Qing mengeluarkan keputusan kekaisaran yang secara resmi menghapuskan perbudakan di seluruh Kekaisaran Tiongkok.
Seruan penghapusan perbudakan di Kekaisaran Tiongkok
Upaya Pemerintah Tiongkok mengakhiri perbudakan telah ada sejak era Kekaisaran Tiongkok. Perbudakan juga bukan hanya terjadi di Tiongkok. Meski, sepanjang sejarah Tiongkok, dekrit, undang-undang, dan proklamasi mencoba menentang perbudakan tersebut.
Bentuk perbudakan sudah ada di Tiongkok kuno sejak sebelum era kekaisaran. Selama periode Musim Semi dan Musim Gugur (770 – 476 SM), tawanan perang dapat menghindari eksekusi dengan cara dijadikan budak. Filsuf Mozi dengan tegas menentang segala bentuk perang ofensif. “Ia menyebut perbudakan sebagai salah satu kengerian perang,” tulis Jeremiah Jenne di laman World of Chinese.
Budak perang, perempuan, dan anak di Kekaisaran Tiongkok
Dalam teks-teks awal dari abad ketiga SM, perbudakan digambarkan bersama dengan mutilasi dan pengebirian. Hal ini menunjukkan jika perbudakan menjadi hukuman yang pantas bagi narapidana dan penjahat.
Referensi paling awal mengenai jual beli budak muncul pada periode Negara-Negara Berperang (475 – 221 SM). Tidak mengherankan, hal ini melibatkan pembelian perempuan sebagai pembantu rumah tangga.
Perbudakan perempuan di Kekaisaran Tiongkok terjadi dalam rangkaian praktik sosial yang memperlakukan perempuan sebagai komoditas. Di satu sisi, pernikahan ditegaskan melalui mahar, dan pengaturan yang tidak bisa ditolak oleh pihak perempuan. Perbudakan seksual dan rumah tangga, gundik, serta berbagai bentuk mucikari dan prostitusi merupakan bagian dari spektrum yang sama.
Anak-anak adalah kelompok lain yang biasanya dijual sebagai budak. Tulisan filsuf Han Fei membahas fenomena orang tua yang menjual anak sebagai budak pada masa kelaparan. “Hal ini berlanjut hingga zaman modern,” tambah Jenne.
Baca Juga: Dari Kaisar hingga Rakyat, Perjudian Populer di Kekaisaran Tiongkok
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR