Bagaimana Dinasti Yuan dan Qing memandang perbudakan?
Dinasti penaklukan seperti dinasti Mongol Yuan (1206 – 1368) dan dinasti Manchu Qing, menambah kerumitan melalui adat istiadat mereka mengenai kerja tidak bebas.
Seorang kaisar terkenal mencoba menguraikan jaringan kompleks kategorisasi sosial dan hukum. Aisin-Gioro Yinzhen, Kaisar Yongzheng, mengeluarkan serangkaian dekrit selama pemerintahannya. Salah satunya berupaya menghapus sebutan hukum atas orang-orang yang “direndahkan” dan praktik perbudakan turun-temurun. Hal ini tidak hanya budak rumah tangga tetapi juga pelayat profesional, pengemis keturunan, dan pembantu kontrak.
Kaisar Yongzheng banyak memberikan komentar tentang “emansipasi” orang-orang ini. Namun kemungkinan besar motivasinya lebih berkaitan dengan penetapan standar hukum dibandingkan dengan rasa empati terhadap mereka yang tidak bebas dan tertindas.
Terlepas dari tekadnya, dampak intervensi resmi Yongzheng sedikit mengecewakan. Kode hukum bisa saja diubah, namun prasangka budaya tetap ada. Banyak orang yang “direndahkan” mendapati diri mereka terikat pada status atau pekerjaan karena tekanan sosial, adat istiadat. Atau karena mereka tidak tahu cara lain untuk hidup.
Kemudian dekrit tahun 1910 sekali lagi berupaya untuk tidak hanya menghapuskan perbudakan harta benda. Dekrit itu menegaskan kesetaraan status hukum bagi orang-orang yang “direndahkan”. Namun lagi-lagi menemui perlawanan.
Bentuk-bentuk kerja tidak bebas dan paksaan, dan khususnya jual beli perempuan dan anak-anak, juga dilarang ketika kekaisaran berakhir. Namun semua itu tidak hilang begitu saja dalam satu momen bersejarah. Bahkan secara tidak resmi terus berlanjut hingga saat ini.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR