Upaya Kaisar Dinasti Han menghapus perbudakan
Pada masa Dinasti Han, perbudakan telah diterima secara luas di masyarakat. Baik itu sebagai bentuk hukuman maupun sebagai sumber tenaga kerja. Pada era Han juga para penguasa pertama kali berupaya membatasi perbudakan.
Kaisar pendiri, Kaisar Gaozu dari Han, memerintahkan emansipasi tawanan perang yang dipaksa menjadi budak dan orang-orang yang telah dijual sebagai budak karena kemiskinan.
Mungkin bagian dari keputusan Kaisar Gaozu adalah keinginan untuk tidak mengikuti jejak pendahulunya di Dinasti Qin. Perbudakan cukup umum pada masa Dinasti Qin. Mentor Kaisar Qin Shi Huang, Lu Buwei, dikabarkan memiliki lebih dari 10.000 budak dan pembantu sebagai bagian dari rumah tangganya. Sejarawan Han menuduh pemerintah Qin mengoperasikan pasar budak dengan orang-orang yang dikurung seperti ternak.
Penguasa Han menerima perbudakan sebagai bagian dari masyarakat. Namun mereka mengeluarkan dekrit yang menjelaskan siapa yang boleh dan, yang lebih penting, tidak boleh dijual sebagai budak.
Karena sejarah panjang perbudakan sebagai bentuk hukuman, budak mendapat stigma. Semua terjadi karena keterkaitannya dengan kriminalitas dan juga karena statusnya yang tidak bebas. Dinasti Han, serta pemerintahan selanjutnya, tidak hanya membedakan antara orang yang “bebas” dan “tidak bebas”. Namun juga antara orang yang “baik (liang)” dan “yang direndahkan (jian)”.
Perbudakan di era Dinasti Han dan Tang
Di era Han dan setelahnya, penculikan atau pemaksaan orang baik menjadi budak adalah kejahatan serius. Namun perbudakan saja tidak dapat mengubah status seseorang. Sebuah kasus pengadilan pada tahun 502 mencatat seorang pria yang menjual putrinya kepada seorang pedagang budak. Sang pedagang kemudian menjual kembali gadis tersebut. Si pedagang dieksekusi karena ia mencoba meloloskan si anak dari status “baik” menjadi “rendah”. Kejahatan itu, pada dasarnya, adalah penipuan.
Tang Code beberapa kali menyatakan bahwa budak dapat dibeli dan dijual sebagai milik pribadi. Sama seperti seseorang dapat membeli atau menjual hewan peliharaan. Meskipun demikian, kode tersebut tetap memperlakukan budak sebagai manusia. Seorang majikan bisa dihukum (ironisnya dengan satu tahun kerja paksa) karena membunuh budaknya. Membunuh seorang budak yang membela majikannya atau harta benda majikannya sama dengan membunuh orang yang “baik”.
Undang-undang tersebut memperlakukan orang-orang yang “direndahkan”, termasuk budak, secara berbeda dengan orang-orang yang “baik”. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang hina terhadap orang baik akan mendapat hukuman yang lebih berat dibandingkan sebaliknya. Status yang direndahkan juga bersifat turun-temurun. Anak-anak budak di kelas yang direndahkan dapat dilahirkan dalam perbudakan.
Perlakuan yang tidak setara terhadap kedua kelompok juga meluas pada pelanggaran yang bersifat seksual. Ada pembatasan budaya dan hukum yang kuat terhadap orang-orang terhina yang menikah dengan orang baik, dan pemerintahan selanjutnya—khususnya Qing—khawatir akan “polusi” terhadap perempuan “baik” melalui penetrasi, baik secara paksa atau tidak, oleh laki-laki “rendah”.
Baca Juga: Singkap Dinamika Kekuasaan di dalam Tembok Harem Kekaisaran Tiongkok
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR