Ketika Paul Levy pertama kali mengunjungi Tiongkok pada tahun 1980, dia diberitahu bahwa intoleransi laktosa adalah hal yang umum di sana. "Namun, Tiongkok saat ini telah mengalami transformasi besar dalam hal konsumsi produk susu," papar Levy.
Kemunculan restoran waralaba, budaya pesan-antar, dan take-out telah mendorong konsumsi berbagai produk susu, termasuk keju olahan. Meskipun awalnya banyak orang Tiongkok yang enggan mengonsumsi keju, seiring waktu mereka mulai menerimanya.
Kebutuhan akan produk susu dipenuhi dengan impor dari negara-negara seperti Selandia Baru. Di sisi lain, Tiongkok juga memiliki industri susu lokal yang besar. Namun, industri ini tidak luput dari skandal pemalsuan dan korupsi, seperti yang sering terjadi di berbagai sektor di Tiongkok.
Perubahan kebijakan di tahun 1990-an yang memicu pertumbuhan ekonomi pesat di Tiongkok membawa pengaruh besar pada lanskap kulinernya. Negara ini mulai beralih fokus untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik, bahkan menjadi importir bersih kedelai, bahan utama minyak goreng dan pakan ternak babi.
"Menjelang akhir dekade 1990-an, kemunculan McDonald's dan KFC di kota-kota Tiongkok menjadi simbol nyata globalisasi yang telah tiba," jelas Levy.
Pasar tradisional basah mulai tergantikan oleh jaringan supermarket modern, dan restoran tradisional dengan gerai tunggal mulai tergerus oleh waralaba yang menawarkan kemudahan dan standar rasa yang seragam.
Menurut DuBois, bergabungnya Tiongkok ke Organisasi Perdagangan Dunia bagaikan "menambahkan bahan bakar roket" pada tren transformasi kuliner ini. Di banyak daerah, hidangan lokal favorit mulai tergantikan oleh merek global, jaringan nasional, dan cita rasa yang seragam.
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melanda Tiongkok, muncul pula tren yang berlawanan: keinginan untuk kembali ke akar dan melestarikan tradisi. Bagi sebagian konsumen, modernisasi tidak selalu berarti lebih baik.
"Mereka mencari keaslian dalam pola makan mereka, dengan kembali ke resep tradisional dan bahan-bahan alami," ungkap Levy.
Tren ini memicu penolakan terhadap organisme hasil rekayasa genetika, kemasan plastik, dan mendorong konsumsi makanan organik. Gerakan "slow food" dan CSA (Community Supported Agriculture) mulai berkembang, menghubungkan konsumen dengan petani dan peternak lokal seperti Little Donkey dan Shared Harvest.
Pemerintah pun merespon dengan mengakui dan mensertifikasi "merek lama terkenal" sebagai warisan budaya, seperti ham Jinhua, cuka hitam Zhenjiang, dan pasta kacang Pi Country dari Sichuan. Sertifikasi ini sejajar dengan produk bersertifikat terroir Barat seperti Champagne atau Parmigiano Reggiano.
Baca Juga: Sepak Terjang Kuomintang, Partai Nasionalis yang Tumbangkan Kekaisaran Tiongkok
KOMENTAR