Dengan letusan lain yang mengguncang bumi, fase kedua dimulai. Kali ini, yang terjadi bukanlah hujan bebatuan ringan.
Fase kedua berupa tembok kematian yang membara yang bergerak dengan kecepatan kereta barang. Baik di jalanan maupun di rumah, tanpa disadari warga Pompeii tidak memiliki peluang untuk selamat dari aliran piroklastik.
“Fase kedua seperti longsoran material vulkanik yang panas,” kata Sparice. “Material adalah campuran gas dan partikel vulkanik yang bergerak dengan kecepatan tinggi dan suhu tinggi di permukaan tanah.”
Dalam waktu 15 menit, ribuan penduduk Pompeii meninggal karena campuran panas dan sesak napas akibat menghirup abu. Selain itu, kekuatan longsoran salju piroklastik merobohkan tembok dan meruntuhkan seluruh bangunan.
Sparice dan rekan-rekan ilmuwannya tidak membantah klaim bahwa mayoritas korban Pompeii meninggal selama fase aliran piroklastik. Namun kini mereka memiliki bukti yang menunjukkan adanya fase ketiga penghancuran yang penting.
Terjepit di antara hujan batu apung dan aliran piroklastik, terjadi gempa dahsyat berkekuatan 5,8 skala Richter.
Tembok Runtuh
Pliny menggambarkan gempa bumi dahsyat yang terjadi pada malam hari dan dini hari pada hari kedua. Namun tidak pernah ada bukti jelas dari catatan arkeologi bahwa gempa tersebut merupakan fase kehancuran ketiga yang independen di Pompeii. Hal itulah yang diyakini Sparice dan timnya.
Buktinya berupa dua set sisa-sisa manusia yang ditemukan di reruntuhan Pompeii. Kedua kerangka itu ditemukan di bawah tembok rumah yang runtuh.
Mereka tampak seperti dua pria berusia 50-an yang menderita beberapa patah tulang akibat kompresi parah. “Hal ini bisa dilihat pada tulang rusuk, panggul, anggota badan, dan tengkorak,” tambah Roos.
Menurut para antropolog, cedera yang dialami pria tersebut tidak disebabkan oleh kematian akibat sesak napas atau panas. Namun karena trauma benda tumpul. Jenis trauma kompresi kedua pria itu hampir sama dengan korban yang ditemukan di reruntuhan gempa modern.
Dalam kebanyakan kasus ketika bangunan-bangunan runtuh di Pompeii, bangunan-bangunan tersebut roboh oleh kekuatan aliran piroklastik yang menghancurkan. Namun rumah tempat kedua orang tersebut meninggal tidak sesuai dengan pola kehancuran yang diperkirakan.
Source | : | History |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR