Nationalgeographic.co.id—Sejak 2015, UNESCO telah menetapkan tanggal 26 Juli sebagai Hari Mangrove Sedunia alias Hari Internasional untuk Konservasi Ekosistem Mangrove. Hari Mangrove Sedunia ini ditetapkan oleh Konferensi Umum UNESCO pada 2015 dan pertama kali diperingati pada Juli 2016.
Sebelumnya, perhatian masyarakat dunia lebih mengarah pada hutan terestrial. Namun, setelah tahu betapa besar potensi dan fungsi ekosistem pesisir itu, semua mata mengalihkan pandangan mereka ke hutan mangrove.
Sempat diremehkan dan diabaikan, menurut hasil berbagai studi terkini, hutan mangrove ternyata begitu digdaya. Hutan mangrove diyakini bisa menyerap karbon empat kali lebih banyak dan menyimpan karbon sepuluh kali banyak daripada hutan terestrial. Jadi, ekosistem ini amat penting untuk menghambat laju krisis iklim global.
Indonesia memiliki luas hutan mangrove terbesar di dunia. Hutan mangrove di Indonesia rata-rata menyerap 52,85 ton karbon dioksida per hektare per tahun. Angka itu setara dengan berat 9 gajah sumatra dewasa.
Sebaliknya, rusaknya hutan mangrove juga akan melepaskan karbon dalam jumlah amat besar. Rata-rata total simpanan karbon dari hutan mangrove adalah 441-1.085 ton karbon per hektare. Jadi, setiap hektare hutan mangrove yang hancur bisa menghasilkan emisi karbon seberat 74 hingga 181 gajah.
Dalam 20 tahun terakhir, karena ekspansi tambak budi daya dan berbagai faktor lain, Indonesia kehilangan hampir 13.000 hektare hutan mangrove setiap tahunnya.
Dengan perhitungan angka terburuk, Anda bisa membayangkan betapa mengerikannya ada lebih dari 2 juta gajah berbentuk karbon yang terlepas ke atmosfer saban tahunnya, dan itu semua dari hutan mangrove Indonesia yang rusak dan lenyap.
Jadi, menyelamatkan hutan mangrove yang tersisa sangatlah penting. Apalagi kemampuan menyerap dan menyimpan karbon dari lahan mangrove gundul yang ditanami kembali baru bisa berdampak setara dengan hutan mangrove utuh setelah pohon-pohon di lahan restorasi itu berumur setidaknya 20 tahun.
Ahli konservasi Victor PH Nikijuluw pernah menyebut bahwa sumber daya mangrove di Indonesia masih sering diremehkan. Dia menerbitkan hasil studinya mengenai sumber daya pesisir Indonesia ke dalam makalah berjudul "Coastal Resources Conservation in Indonesia: Issues, Policies, and Future Directions".
Dalam makalah studinya itu, dia menjelaskan bahwa Indonesia memiliki wilayah pesisir yang telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Ekosistem pesisir utama yang membentuk wilayah pesisir Indonesia adalah hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.
Berbagai barang dan jasa dihasilkan oleh ekosistem pesisir ini. Namun, beberapa barang dan jasa lainnya masih belum teridentifikasi, tidak dapat diukur, tidak dapat diperdagangkan, dan tidak dapat dimonetisasi dengan menggunakan teknologi dan mekanisme pasar yang ada.
Baca Juga: Rehabilitasi Mangrove Rawan Gagal, Bagaimana Cara Kurangi Tingkat Kegagalannya?
"Akibatnya, sumber daya itu cenderung diremehkan dan akhirnya disalahgunakan dan salah dikelola," tulis Victor.
Selain menjadi paru-paru dunia dan benteng pesisir--melindungi daratan dari abrasi--hutan mangrove juga merupakan lumbung pangan bagi masyarakat pesisir.
Hasil studi yang dipimpin oleh Amy Ickowitz, Ilmuwan Senior CIFOR-ICRAF, menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di dekat hutan mangrove mengonsumsi 19–28 persen lebih banyak ikan segar dibandingkan rumah tangga pesisir lainnya, dan secara total 13–22 persen lebih banyak mengonsumsi protein hewani.
“Karena makanan yang bersumber dari protein hewani termasuk kategori rendah di pola makan masyarakat Indonesia, hal ini mungkin memiliki dampak gizi yang signifikan bagi rumah tangga yang tinggal di dekat hutan mangrove,” kata para peneliti.
Sementara itu, dampak budi daya perikanan terhadap konsumsi ikan lokal tidak terlalu besar – dan bahkan negatif dalam beberapa kasus. Hal ini, menurut Ickowitz, menyoroti fakta bahwa “Budidaya perikanan tampaknya tidak memberikan dampak positif terhadap konsumsi protein hewani.”.
Dia menegaskan, “Temuan ini memperkuat pesan bahwa menghancurkan hutan mangrove untuk budi daya perikanan adalah ide yang buruk, tidak hanya secara ekologis, tetapi juga bagi ketahanan pangan.”
Maka, selamatkanlah mangrove dan selamat Hari Mangrove Sedunia!
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR