Sultan Agung Hanyokrokusumo melihat perlunya mengambil langkah lebih lanjut untuk memperkuat kerajaannya sebagai perwakilan sah kekuatan dunia Islam di Nusantara.
Pengiriman Utusan ke Ottoman
“Kapal berlayar dari utusan Mataram ke Aceh dari Jepara dengan berhenti di Palembang. Dari sana, dengan izin Sultan Iskandar Thani (1636-1641), utusan Mataram berangkat bersama pesan persahabatan dari Aceh Darussalam ke Turki,” ungkap Meirison dkk.
“Konon utusan berhasil bertemu dengan Malikul Barrain wa Khaqanul Bahrain wa Khadimul Haramain, Qaishar Ar Rumi, Khalifatullah wa Zhilluhu fil Ardhi Al-Ghazi Sultan Murad IV (1623-1640) di tahun-tahun terakhir pemerintahannya,” lanjutnya.
“Tapi ada versi lain menyebutkan bahwa Murad IV diwakili oleh Syarif Makkah, Zaid ibn Muhsin Al Hasyimi (1631-1666), yang menerima utusan di kota suci.”
Orientasi ke Turki yang sangat kuat ini ditandai dengan penggantian bendera Gula Kelapa yang telah ada sejak masa Majapahit, Demak, dan Pajang.
Sebagai gantinya adalah bendera dasar merah dengan tepi oval putih, di tengahnya digambarkan bulan sabit putih sebagai bendera Turki Utsmaniyah. Hanya ditambahkan keris salib sebagai penanda Nusantara.
Bahkan, beberapa penguasa Muslim di Nusantara mencari legitimasi gelar Sultan dari penguasa politik dan agama di Timur Tengah.
Penguasa Banten, Abd al-Qadir (berkuasa 1625-1651), pada tahun 1638, menerima gelar Sultan dari Syarif Mekkah.
Pangeran Rangsang, penguasa Mataram, pada tahun 1641 mengirim utusan ke Hijaz untuk bertemu Syarif Mekkah; tanpa banyak pertanyaan, Syarif segera memberikan gelar Sultan kepada Pangeran Rangsang, yang kemudian lebih dikenal sebagai Sultan Agung.
Demikian pula, Kesultanan Aceh dan Kesultanan Palembang serta Makassar juga memiliki hubungan khusus dengan penguasa Mekkah.
Baca Juga: Mengapa Sultan Selim I Dijuluki Si Bengis di Kekaisaran Ottoman?
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR