Guevara dan sahabatnya mengunjungi lokasi-lokasi ikonik seperti Danau Titicaca dan reruntuhan Machu Picchu. Guevara menyebut Machu Picchu sebagai “ekspresi murni dari ras pribumi paling kuat di Amerika.”
Mereka juga mengunjungi lokasi-lokasi lain seperti tambang tembaga besar di kota Chuquicamata di Chili. Tambang itu dioperasikan oleh perusahaan multinasional Amerika. Di sana, Guevara menyaksikan eksploitasi para pekerja tambang.
“Satu-satunya hal yang penting adalah antusiasme para pekerja yang merusak kesehatan mereka. Hal itu dilakukan demi mencari sedikit remah-remah makanan yang hampir tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,” tulisnya.
“Upaya terbesar yang harus dilakukan Chili adalah menyingkirkan teman Yankee yang tidak nyaman dari punggungnya. Sebuah tugas yang setidaknya untuk saat ini sangat berat,” tulis Guevara
Di Peru, kedua orang Argentina itu melihat kemiskinan yang menyedihkan yang dialami oleh penduduk asli. Para penduduk diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.
“Orang-orang yang melihat kami berjalan di jalan-jalan kota adalah ras yang kalah,” tulis Guevara. “Tatapan mereka jinak, hampir menakutkan, dan sama sekali tidak peduli dengan dunia luar. Beberapa orang memberi kesan bahwa mereka terus hidup hanya karena itu adalah kebiasaan yang tidak dapat mereka hilangkan.”
Setelah berlayar di Sungai Amazon, Granado dan Guevara menghabiskan 2 minggu di sebuah koloni penderita kusta di Peru timur. Di sana, 600 pasien mendapatkan perlakuan manusiawi. Peristiwa ini menegaskan keinginan Granado untuk melanjutkan pekerjaannya membantu para penderita kusta.
“Pengaruh psikologis yang diberikan kepada orang-orang malang ini tidak terhitung. Memperlakukan mereka sebagai manusia normal, bukan binatang, seperti yang biasa mereka terima,” tulis Guevara.
Perjalanan mahasiswa kedokteran tersebut membuatnya lebih sadar akan peradaban Amerika Selatan yang umum. Juga membangkitkan dalam dirinya visi pan-Amerika.
“Pembagian Amerika menjadi negara-negara yang tidak stabil dan ilusif sepenuhnya fiktif. Kita merupakan satu ras mestizo, yang dari Meksiko hingga selat Magellan memiliki kemiripan etnografis yang mencolok,” katanya di sebuah pesta ulang tahun yang diadakan untuk menghormatinya di koloni penderita kusta.
“Dalam upaya untuk melepaskan diri dari beban provinsialisme yang berpikiran sempit, saya bersulang untuk Peru dan Amerika Latin Bersatu.”
Melanjutkan perjalanan mereka, kedua pemuda itu berlayar menyusuri Amazon dengan rakit kayu, yang diberi nama Mambo-Tango. Mereka akhirnya menyerah pada arus deras dan kawanan nyamuk dan berlindung di Leticia, Kolombia. Selama 9 hari mereka melatih tim sepak bola lokal, dengan calon pemimpin gerilya tersebut bermain sebagai penjaga gawang.
Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR