Nationalgeographic.co.id—Sebelum Che Guevara menjadi komandan gerilya Marxisme, sebelum ia menjadi ikon revolusioner yang terpampang di kaus. Sebelum ia dikenal sebagai “Che,” ada seorang teman, sepeda motor, dan perjalanan darat epik. Semua itu pun mengubah jalan hidupnya dan sejarah dunia.
Pada Desember 1951, mahasiswa kedokteran Argentina melompat ke belakang sepeda motor Norton 500cc kuno milik temannya, Alberto Granado. Pemuda itu adalah Ernesto Rafael Guevara de la Serna yang berusia 23 tahun. Motornya melaju kencang keluar dari Cordoba, Argentina.
“Yang dapat kami lihat hanyalah debu di jalan di depan dan diri kami sendiri di atas sepeda motor. Kami ‘melahap’ ratusan kilometer dalam perjalanan ke utara,” tulis Guevara.
Meskipun usia mereka terpaut 6 tahun, Guevara dan Granado, ahli biokimia berusia 29 tahun, telah berteman selama hampir satu dekade. Keduanya memiliki rasa ingin tahu dan keinginan untuk berpetualang yang sama. Keduanya pun memulai pengembaraan di sepanjang Amerika Selatan.
Lahirnya seorang revolusioner dalam sejarah dunia
“Kesadaran sosial Guevara sudah mulai muncul selama perjalanannya sebelumnya di Argentina dan luar negeri,” kata Paulo Drinot, seorang profesor sejarah Amerika Latin di University College London.
“Che tumbuh dalam keluarga kelas menengah atas yang mengalami masa-masa sulit. Namun lingkungan intelektualnya jelas-jelas memperhatikan proses politik,” katanya. “Ketertarikannya pada kedokteran sebagai karier dan profesi sebagian merupakan ekspresi kesadaran sosialnya. Kesadaran itu berkembang sejak usia dini.”
Setelah meninggalkan Cordoba, kedua sahabat itu mengunjungi ibu kota Argentina, Buenos Aires. Juga kota tepi laut Miramar sebelum menyeberangi padang rumput tandus dan mendaki Andes.
Karena asma kronis, Guevara mengalami awal perjalanan yang sulit karena ia terserang flu. Ia pun harus berjuang melawan patah hati setelah menerima surat putus dari kekasihnya.
Sepeda motor Granado, yang dijuluki La Poderosa II (“yang perkasa”), mengalami masalah sendiri. Sepeda motor itu gagal memenuhi julukannya sebelum akhirnya rusak total di Chili.
Pengelana muda tersebut pun menjadi “gelandangan tanpa roda,” seperti yang ditulis Guevara. Namun, mereka terus maju ke utara, melalui padang pasir dan hutan hujan. Mereka menumpang kendaraan, berjalan kaki, menunggang kuda, dan bahkan bersembunyi di kapal. Kedua pemuda itu tidur di garasi, lumbung, dan kantor polisi serta di bawah bintang-bintang.
Baca Juga: Tentang Rokok dan Revolusi Kuba dalam Ingatan Sejarah Bung Karno
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR