Nationalgeographic.co.id—Seseorang bisa kecanduan terhadap kekuasaan seperti halnya kecanduan terhadap narkoba. Namun hal apa yang terjadi di balik proses kecandungan kekuasaan ini?
Kekuasaan, terutama kekuasaan yang absolut dan tak terkendali, bersifat memabukkan. Efeknya terjadi pada tingkat seluler dan neurokimia.
Efeknya terwujud dalam perilaku dalam berbagai cara. Mulai dari fungsi kognitif yang meningkat hingga kurangnya hambatan, penilaian yang buruk, narsisme yang ekstrem, perilaku menyimpang, dan kekejaman yang mengerikan.
Nayef Al-Rodhan, seorang filsuf, ahli saraf, sekaligus ahli geostrategi, pernah memaparkan proses di balik kecanduan kekuasaan ini lewat artikelnya di The Conversation. Doktor yang menjadi Senior Associate Member dalam St. Antony's College di Oxford University itu menjelaskan adanya faktor dopamin di balik hal ini.
"Neurokimia utama yang terlibat dalam penghargaan kekuasaan yang dikenal saat ini adalah dopamin, pemancar kimia yang sama yang bertanggung jawab untuk menghasilkan rasa senang," terangnya.
"Kekuasaan mengaktifkan sirkuit penghargaan yang sama di otak dan menciptakan 'rasa senang' yang adiktif dengan cara yang sama seperti kecanduan narkoba," tegas Nayef.
Seperti pecandu, kebanyakan orang yang berkuasa akan berusaha mempertahankan rasa senang yang mereka dapatkan dari kekuasaan, terkadang dengan cara apa pun. Hal inilah yang membuat pecandu kekuasaan seperti tidak punya rasa malu karena memang dia akan melakukan cara apa pun untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan kekuasaan.
Ketika si pecandu ditahan atau digecah untuk mendapatkan kekuasaan, kekuasaan–seperti agen yang sangat adiktif lainnya–menghasilkan keinginan pada tingkat seluler yang amat kuat pada diri si pecandu. Hal ini menimbulkan penolakan kuat dalam dirinya untuk melepaskan keinginan tersebut.
Dalam masyarakat yang bertanggung jawab, ada pengawasan dan keseimbangan untuk menghindari konsekuensi kekuasaan yang tak terelakkan. Namun, dalam kasus di mana para pemimpin memiliki kekuasaan yang absolut dan tidak terkendali, perubahan dalam kepemimpinan dan transisi ke aturan yang lebih berbasis konsensus tidak mungkin berjalan mulus.
"Penarikan kekuasaan absolut secara bertahap adalah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa seseorang akan dapat menerima pelepasannya," tulis Nayef.
Baca Juga: Kenapa Banyak Orang Kecanduan Minum Kopi, padahal Rasanya Pahit?
Dopamin dan Kecanduan Kekuasaan
Manusia dicirikan oleh "egoisme amoral emosional". Manusia digerakkan oleh emosi dan (bagi kebanyakan dari kita, sebagian besar waktu), kompas moral kita dapat diubah dan sangat dipengaruhi oleh keadaan, nilai kelangsungan hidup, dan "kepentingan diri emosional" yang kita rasakan.
Namun, emosi bukanlah sesuatu yang tidak material: emosi dimediasi oleh neurokimia dan bersifat fisik sejauh memiliki koresponden neurokimia.
Dopamin bertanggung jawab untuk menghasilkan rasa senang dan membantu kita menyimpan informasi dan terlibat dalam pembelajaran yang didorong oleh penghargaan. Dopamin dilepaskan di bagian otak tertentu dengan pengalaman yang memberi penghargaan, seperti pencapaian, konsumsi makanan, dan kesenangan hidup lainnya.
Namun, dopamin juga diproduksi dalam perilaku yang mungkin tidak sehat dan mengancam jiwa, seperti penyalahgunaan zat atau perjudian. Bagaimanapun, pelepasan dopamin adalah yang membuat orang ingin terlibat kembali dalam aktivitas ini.
Dopamin mengaktifkan sistem penghargaan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup kita sebagai spesies, mendorong kita untuk kembali ke perilaku yang penting bagi kehidupan. Proses ini adalah apa yang sebelumnya saya sebut sebagai "prinsip kepuasan neurokimia" (NGP).
Namun, seperti halnya perilaku sehat yang berulang kali diinduksi oleh sistem penghargaan kita, demikian pula perilaku yang tidak sehat. Obat-obatan, seperti kokain, nikotin, dan amfetamin, juga menyebabkan peningkatan dopamin dalam sistem penghargaan otak.
Kecanduan adalah bentuk perilaku ekstrem yang menggunakan jaringan saraf yang ada yang menghasilkan perilaku manik, yang terwujud sebagai kegembiraan, peningkatan kognisi, dan persepsi diri yang muluk-muluk. Hitler, Stalin, dan Napoleon, misalnya, semuanya tampak tidak mampu berempati dan memahami nilai kehidupan manusia.
"Namun, kemungkinan besar kekuasaan itu sendiri (bukan penyimpangan perilaku tertentu), mungkin bertanggung jawab untuk membesar-besarkan ciri-ciri perilaku tertentu yang ditunjukkan setiap individu," jelas Nayef.
Dopamin dan Kesenangan atas Kekuasaan
Otak diprogram secara neurokimia untuk mencari kesenangan, terlepas dari penerimaan sosialnya atau bagaimana kesenangan itu diperoleh. Oleh karena itu, kita semua adalah pecandu, dalam satu jenis atau lainnya, sejauh kita semua terlibat dalam kegiatan yang memastikan dopamin dan neurokimia lainnya mengalir.
Karena itu, kita semua menghindari melakukan hal-hal yang akan mengakibatkan penarikan dopamin. Dengan cara yang sama seperti pecandu narkoba dan pecandu alkohol, orang merasa sulit untuk mengakui bahwa mereka adalah pecandu penerimaan/penghargaan/kekuasaan karena penarikan dopamin menyebabkan demikian.
Selain itu, menghentikan perilaku adiktif yang merugikan diri sendiri atau orang lain bukan hanya masalah kemauan.
Sama seperti obat-obatan adiktif, kekuasaan menggunakan sirkuit penghargaan yang sudah jadi ini, menghasilkan kesenangan yang ekstrem. Dalam jumlah sedang, dopamin dapat meningkatkan dimensi fungsi kognitif, tetapi juga dapat membuat orang impulsif, kurang menghindari risiko, dan kurang berempati.
Kadar dopamin yang tinggi berkaitan dengan rasa keyakinan pribadi, pengambilan risiko, dan keterpisahan emosional yang dapat menyebabkan kekejaman, dan obsesi untuk mencapai tujuan dan penaklukan.
"Kekuasaan absolut juga dapat membuat orang percaya bahwa kekuatan spiritual sedang membimbing mereka bahkan dalam demokrasi yang mapan," tegas Nayef.
Misalnya, mantan presiden AS George Bush memberi tahu orang-orang bahwa Tuhan ingin dia berperang melawan Irak dan sekutunya dalam Perang Irak, dan mantan perdana menteri Inggris Tony Blair juga dianggap percaya bahwa Tuhan ingin dia membawa negara itu berperang untuk memerangi kejahatan.
Pemimpin-pemimpin negara yang tetap ingin berkuasa melebihi batas aturan yang telah ditetapkan juga termasuk dalam hal ini. Dalihnya bisa bermacam-macam, mulai dari demi pembangunan berkelanjutan hingga demi menjaga proyek-proyeknya yang belum selesai.
Keyakinan yang tampaknya dimiliki oleh para pemimpin tersebut merupakan gejala kadar dopamin yang sangat tinggi.
"Individu-individu yang berkuasa itu tidak hanya cenderung egosentris, tetapi juga paranoid," tegas Nayef.
Neurokimia kekuasaan memiliki implikasi bagi politik dan perubahan politik.
Karena kekuasaan mengaktifkan sistem penghargaan neuronal di otak dan, dengan demikian, bersifat adiktif, orang-orang yang berada dalam posisi kekuasaan yang tidak terkendali cenderung tidak memiliki kesadaran diri yang diperlukan untuk bertindak dengan menahan diri atau mencari bentuk pengambilan keputusan yang telah disepakati bersama.
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR