Asal-usul yang tidak diketahui
Bahkan sebelum mengunjungi situs tersebut, Schreurs sudah “skeptis” tentang penjelasan yang biasanya diberikan untuk arsitektur batu Teniky. Dipercaya jika bangunan itu dibangun pada abad ke-16 oleh pelaut Portugis yang karam. Para pelaut tersebut sedang melintasi pulau itu dengan harapan menemukan pelabuhan.
Namun, ceruk-ceruk Teniky sangat mirip dengan ceruk-ceruk batu berukir di situs permakaman Zoroaster di wilayah Fars, Persia (Iran). Situs di Iran itu disebut astodans dalam bahasa Pahlavi yang kini telah punah.
Penganut Zoroaster yang mendiami Fars percaya bahwa menguburkan orang mati akan menajiskan bumi. Oleh karena itu, mereka sering kali membiarkan orang mati hingga tinggal tulang-belulang dan kemudian menguburkan jenazahnya di ceruk-ceruk batu.
Waktunya juga cocok. Penanggalan radiokarbon dari arang yang ditemukan di Teniky menunjukkan bahwa permukiman tersebut berasal dari antara abad ke-10 dan ke-12. “Jauh sebelum Portugis tiba di daerah tersebut pada akhir abad ke-15,” tulis Tom Metcalfe di laman National Geographic.
Zoroastrianisme merupakan agama resmi Kekaisaran Persia selama lebih dari 1.000 tahun sebelum penaklukan Arab pada abad ketujuh. Masih dipraktikkan hingga saat ini, terutama di India dan Iran, agama tersebut menekankan kekuatan yang berlawanan di alam semesta. Agama ini menganggap api sebagai simbol kesucian.
Namun, penjajah Arab di Persia membawa agama baru Islam, yang menyebar dengan cepat. Sekelompok penganut Zoroaster yang bersemangat meninggalkan tempat itu pada abad ke-10 atau ke-11 untuk mendirikan koloni pulau mereka.
Argumen yang ‘masuk akal’
Arkeolog Universitas Santa Clara, Nathan Anderson, meneliti permukiman awal lainnya di Madagaskar. Ia awalnya meragukan adanya hubungan antara penganut Zoroaster dan situs Teniky. Namun ia berubah pikiran. “Ketika Anda benar-benar melihat datanya, ketika Anda melihat arsitekturnya, sulit untuk menemukan penjelasan lain yang masuk akal,” katanya.
Tidak ada tulang
Namun ada satu masalah dengan teori Zoroaster, yaitu tidak ada ceruk batu yang berisi sisa-sisa manusia. Penulis menyarankan ini mungkin karena orang-orang kemudian mengumpulkan dan menggunakan tulang-tulang kuno untuk “sihir hitam.”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR