Nationalgeographic.co.id—“Cintailah tuntong laut seperti Anda mencintai Indonesia karena dia adalah kura-kura yang sangat Indonesia,” demikian pesan Joko Guntoro yang pernah ia sampaikan kepada National Geographic Indonesia beberapa tahun silam. “Sangat unik, warna dasarnya merah dan putih seperti warna bendera Indonesia.”
Joko merupakan pemimpin peneliti dari Yayasan SatuCita Lestari Indonesia. Ia mengatakan bahwa pada musim kawin, pejantan tuntong laut (Batagur borneoensis) berubah menjadi putih dengan tiga strip garis hitam di karapasnya. Kepala pun berubah total menjadi putih dan matanya dilingkari garis hitam, hidungnya berwarna oranye kemerahaan, mulutnya bak bergincu merah. Lantaran wajahnya menyerupai badut, satwa ini juga kerap dijuluki kura-kura badut.
Beberapa hari lalu, Joko mengabarkan kembali tentang si kura-kura badut itu. Spesies yang terancam punah tampaknya telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan di kawasan Sungai Tamiang, Aceh Tamiang.
Tuntong laut merupakan salah satu spesies kura-kura air tawar dan darat dari 29 spesies kura-kura yang ada di Indonesia. Keluarga tuntong memiliki dua spesies, tuntong laut dan tuntong sungai. Warnanya secara dominan warna cokelat muda. Keduanya pun memiliki habitat yang sama, yaitu hutan mangrove. Namun, tempat bertelur mereka berbeda. Tuntong sungai, saat musim bertelur bergerak ke tepian berpasir di hulu sungai. Sedangkan tuntong laut memiliki tempat bertelur sama dengan penyu, yaitu pantai pasir di laut.
Lebih dari satu dekade, yayasan itu telah memberikan mencurahkan perhatiannya dalam program konservasi. Pesisir Ujung Tamiang termasuk dalam kawasan wisata perairan atau wisata alam dalam tata ruang Kabupaten Aceh Tamiang. Para pelestari di yayasan itu mengajukan semacam peraturan perlindungan spesies tuntong laut agar terlindungi secara lokal. Harapannya, spesies itu dapat dilestarikan dengan sempurna.
Pemantauan YSLI bersama BKSDA Aceh Resort Langsa pada Juni 2024 mengungkapkan bahwa dari total 44 individu beluku yang berhasil teramati saat berjemur di ranting dan dahan di pinggiran sungai, sebanyak 28 individu berhasil didokumentasikan melalui foto.
Dari jumlah dalam foto tersebut, tim mengidentifikasi sebanyak 24 individu masih memiliki takik di sisi tepi tempurung. Walaupun tim tidak berhasil menemukan tanda takik tersebut pada sisi kiri-kanan pada tempurungnya, takik pada satu sisi tempurung dapat menjadi indikasi bahwa individu tersebut adalah hasil pelepasliaran.
Apabila kita membandingkan jumlah individu yang teridentifkasi selama survei pemantauan dengan jumlah seluruh individu yang dilepasliarkan hingga April 2024, kita akan menemukan tingkat kesintasan pascapelepasliaran sebesar 0,75 persen.
Meskipun angkanya masih rendah, survei telah menunjukkan struktur populasi liar yang cukup baik. Alasannya, temuan itu mencakup setiap kategori usia, yaitu anakan, remaja, hingga indukan.
Sejak 2012 hingga 2024, kedua lembaga itu bersama masyarakat telah melepasliarkan lebih dari 3.200 anakan ke habitat alami mereka di Sungai Tamiang dan anak sungainya. Seluruh individu anakan yang dilepasliarkan diberi tanda berupa takik dengan menggunakan sistem penandaan 1-2-4-7.
Baca Juga: Sebelum Manusia, Kura-Kura Raksasa Menghuni Pulau di Samudera Hindia
Selain itu sebagian juga diberi penanda PIT (Passive Integrated Transponder). Sistem penandaan ini mewakili angka satuan, puluhan, ratusan dan ribuan. Melalui sistem penandaan ini, tiap keping pada bagian tepi tempurung mewakili nomor tertentu. Kombinasi dalam sistem ini dapat menandai hingga 14.999 individu.
Untuk membandingkan temuan survei, tim melakukan wawancara terhadap 60 nelayan di tiga desa sekitar Sungai Tamiang. Hasil wawancara menunjukkan bahwa 50 persen nelayan sungai sering melihat tuntong laut saat ini dibandingkan 12 tahun silam. Temuan ini turut menjadi indikasi awal pemulihan populasi tuntong laut liar di Aceh Tamiang.
Kendati hasilnya positif, ancaman satwa mungil ini tetap ada. Sebanyak 25 persen nelayan yang diwawancarai menyatakan bahwa tuntong laut secara tidak sengaja tertangkap dalam perangkap atau bubu mereka. Hilangnya vegetasi riparian akibat pembukaan lahan pertanian dan kebun turut memberikan ancaman. Semakin menjarangnya tanaman berembang (Sonneratia sp.) menyebabkan spesies ini kehilangan sumber pakan dan tempat berjemur untuk mengatur regulasi tubuh.
Berdasarkan hasil kajian ini, mereka merekomendasikan pengembangan metode yang lebih efektif untuk memantau populasi liar, termasuk penggunaan teknologi satelit untuk melacak pergerakan tuntong laut dan preferensi habitat mereka. Selain itu, yayasan akan terus bekerja sama dengan masyarakat dan pemerintah daerah untuk menjaga kelestarian spesies terancam punah ini dan habitatnya serta mengembangkan kehidupan berkelanjutan masyarakat.
"Hal ini memberikan arahan penting bagi para pihak untuk terus meningkatkan upaya konservasi dan pemulihan habitat alami mereka," ungkap Siti Aisyah, salah satu anggota tim survei dalam rilis bertajuk Yayasan SatuCita Lestari Indonesia: Upaya Konservasi Tuntong Laut di Aceh Tamiang Menunjukkan Pemulihan Populasi pada akhir September silam.
Bagaimanakah siklus hidup tuntong laut? Pertama, musim bertelurnya berkisar dari Desember sampai Februari di pantai. Puncaknya pada pertengahan Desember dan pertengahan Januari. Kedua, musim penetasan yang memakan waktu 68 sampai 118 hari. Ketiga, tukik-tukik tuntong laut bermigrasi dari pantai berenang kembali ke sungai yang berjarak sekira 7 sampai 15 kilometer. Keempat, masa reproduksi tiba ketika tuntong laut berusia 8 sampai 12 tahun. Musim kawin tiba sekitar April sampai Agustus.
“Meskipun angka kesintasan relatif rendah, tetapi ini membuktikan bahwa mereka dapat bertahan hidup setelah dilepasliarkan," ujar Joko dalam rilis akhir September silam. Selain itu, kami melihat adanya harapan dari peningkatan jumlah sarang yang berhasil ditemukan dan diselamatkan dalam satu dekade terakhir."
13 Ribu Pendaki Sampai di Puncak Bulu Baria, Gunung Terbersih di Sulawesi Dikelola Bersama EIGER
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR