Nationalgeographic.grid.id—Napoleon adalah kaisar terbesar sepanjang sejarah Prancis. Namanya populer saat memimpin peristiwa Revolusi Prancis yang sangat menentukan dalam arah sejarah dunia. Nahas, ia mati melarat di pengasingannya.
Seorang dokter, Howard Markel menulis artikel kepada PBS News berjudul How Napoleon’s death in exile became a controversial mystery, terbitan 15 Agustus 2022. Hari di mana ia menerbitkan artikel itu, bersamaan dengan ulang tahun Napoleon ke 253.
Ia mengenang-kenangkan makan malam yang dilakukannya beberapa tahun lalu dengan seorang dokter bedah tua. Dokter tua itu menunjukkan sesuatu yang membuatnya tak nafsu melanjutkan makan malamnya, potongan tubuh Napoleon!
"Dokter bedah tua itu membisikkan rencananya untuk menganalisis spesimen anatomi untuk mencoba mencari tahu penyebab kematian Napoleon pada tahun 1821, yang telah lama jadi salah satu misteri paling kontroversial di kalangan sejarawan Prancis," tulisnya.
Di waktu luang, dokter Markel mengunjungi makam Napoleon, di Dôme des Invalides, di bawah bayang-bayang Menara Eiffel. Ia melihat sarkofagus kuarsit merah mengilap yang berisi jenazah Napoleon, sang kaisar terbesar Prancis yang mati nahas.
Menyeruak pertanyaan kemudian, "bagaimana bisa di usia 51 tahun, seorang yang gagah dan tangguh malah mati melarat di pengasingannya di St. Helena pada 1821?"
Saat berada di pengasingan pada tanggal 5 Mei 1821, Napoleon dikabarkan semakin sakit selama beberapa bulan, menderita sakit perut yang berulang, kelemahan yang sangat progresif dari hari ke hari, dan sembelit yang tak kunjung sembuh.
Dalam catatan sejarah Prancis, benar-benar melarat hidup sang revolusioner itu. Pada minggu-minggu terakhir sebelum wafatnya, ia diganggu oleh muntah-muntah, cegukan yang tak henti-hentinya, dan gumpalan darah, atau tromboflebitis, di berbagai bagian tubuhnya.
Para dokter yang melakukan otopsi Napoleon, pada tanggal 6 Mei 1821, menyimpulkan bahwa kematiannya disebabkan oleh kanker perut.
Hal ini diperburuk lagi oleh tukak lambung yang mengalami pendarahan, setelah dosis besar kalomel—senyawa yang mengandung merkuri yang digunakan sebagai obat—diberikan kepadanya sehari sebelum ia meninggal.
Sejak saat itu, para ahli patologi yang hanya duduk di kursi, bertanya-tanya apakah memang benar demikian? Banyak dokter telah memberikan serangkaian diagnosis yang benar-benar memenuhi buku dan jurnal selama seabad terakhir.
Baca Juga: Pauline Bonaparte: Adik Napoleon Bonaparte yang Dijuluki 'Penggoda yang Hebat'
Pada tahun 1961, seorang dokter gigi Swedia bernama Sten Forshufvud, yang bekerja sama dengan Dr. Hamilton Smith dari Glasgow dan Anders Wassen dari Swedia, menjadi terkenal karena dimuat pada berita utama internasional.
Ia menulis sebuah artikel yang diterbitkan di majalah Nature. Dengan menerapkan teknologi terkini untuk menganalisis sejumput rambut kaisar—diperkirakan diambil segera setelah kematiannya—menduga dan mengumumkan bahwa Napoleon mungkin telah tewas karena keracunan arsenik.
Forshufvud dan tim riset awalnya melaporkan bahwa tidak mungkin untuk mengetahui dari hasil sampel saja "apakah arsenik terdistribusi secara merata (seperti yang diharapkan dalam paparan berkelanjutan) atau terletak di satu titik (seperti yang akan terjadi dalam paparan tunggal yang besar)."
Makalah kedua yang dilaporkan oleh Forshufvud dan timnya, menganalisis sampel rambut yang berbeda yang seharusnya ditarik dari kepala Napoleon.
Sekali lagi, mereka menemukan kadar arsenik yang tinggi dan menyarankan bahwa ia terpapar racun secara berkala, mungkin, selama empat bulan sebelum kematiannya. Dan, pada sampel rambut berikutnya, menunjukkan temuan serupa.
Puluhan tahun kemudian, seorang ahli kimia, J. Thomas Hindmarch dan John Savory menulis bantahan terhadap klaim keracunan arsenik!
Penting untuk dicatat, mereka mengingatkan para pembacanya, bahwa pada masa-masa sulit pengobatan—ketika pendarahan dan bekam masih menjadi metode pengobatan utama—arsenik merupakan obat yang umum, meskipun tidak dianjurkan.
Sering kali arsenik dikemas dalam bentuk tonik yang dikenal sebagai larutan Fowler. Arsenik juga banyak digunakan dalam rodentisida, insektisida, pewarna pakaian, dan bahkan bungkus permen.
Kebanyakan bangsawan Prancis, termasuk Napoleon, kala itu terbiasa mengenakan bedak wajah dan rambut yang mengandung arsenik. Mungkin juga terkandung arsenik dalam persediaan air, kertas dinding yang menutupi kamar tidur Napoleon.
Atau juga dalam asap batu bara yang memanaskan kamarnya, dan paparan pasca-mortem karena kandungan tanah arsenik yang menutupi peti matinya, ketika ia masih dimakamkan di St. Helena sebelum dibawa kembali ke Paris.
Baca Juga: Mengapa Napoleon Begitu Terkenal dan Membuat Banyak Orang Terobsesi?
Atau pun juga fakta lain yang membuat masalah semakin membingungkan, ada pula praktik pada abad ke-19 yang mengawetkan rambut dengan cara membuat larutan arsenik dan bubuk rambut.
Meskipun demikian, baik jurnalis maupun penggemar sejarah telah menerima berbagai teori konspirasi yang melibatkan keracunan arsenik. Beberapa mengklaim bahwa tersangka pembunuh (mungkin secara tidak sengaja) adalah Charles Tristan, Marquis de Montholon.
Dugaan itu menguat karena Marquis merupakan teman baik Napoleon saat mereka berdua berada di pulau St. Helena. Sebuah motif bahkan diuraikan dalam surat wasiat Napoleon yang mewariskan 2 juta franc kepada Montholon.
Sayangnya, seperti yang pernah dikatakan Napoleon, sejarah adalah dongeng yang disetujui banyak orang, tak ada yang tahu kebenaran teori itu. Rekam medis lebih meyakini laporan keluarga tentang riwayat sakit Napoleon.
Riwayat medis keluarga menyebut bahwa Napoleon mengidap karsinoma lambung, dan kondisi kanker lambungnya yang parah serta ulkus stres berdarah, yang diperburuk oleh semua resep dokternya, menyebut jika sakit inilah yang sangat mungkin.
Betapa pun, penelitian lebih lanjut masih diurungkan karena menilai tindakan itu sebagai sia-sia jika melihat reputasi Napoleon secara holistik. Sejarah mengajarkan, tokoh sebesar Napoleon pun bisa saja miliki hidup yang berakhir melarat dan bersakit-sakit.
Sudut Pandang Baru Peluang Bumi, Pameran Foto dan Infografis National Geographic Indonesia di JILF 2024
Source | : | PBS News |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR