ABRI melakukan pengabdian kepada bangsa dan Negara secara total, baik di bidang pertahanan dan keamanan (Hankam) maupun bidang non-Hankam.
"Namun, dalam prakteknya di lapangan terjadi penyimpangan terhadap konsepsi semula," ungkap mereka.
Melalui konsep kekaryaan, peran militer yang mencolok dibuktikan dengan banyaknya perwira militer yang menduduki jabatan-jabatan politik dan pemerintahan.
Perwira-perwira militer, mulai dari menjadi Kepala Desa/Lurah, Camat, Bupati/Walikota, Gubernur, sampai menjadi menteri.
Selain itu, militer menduduki jabatan-jabatan lain yang seharusnya diduduki oleh birokrat sipil mulai dari Kepala Dinas, Kepala Kantor Departemen, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, sampai Sekretaris Jenderal.
Dwifungsi ABRI juga dijadikan sebagai alat kekuasaan oleh Presiden Soeharto, yang mengakibatkan rakyat kurang simpati kepada ABRI.
Orde Baru bertekad melaksanakan program pembangunan yang kesuksesannya menuntut adanya stabilitas keamanan.
Atas nama keamanan, Orde Baru kemudian memberikan tanggung jawab ini kepada ABRI.
ABRI kemudian mulai terlihat semena-mena, padahal tujuan utamanya untuk menjaga keamanan dan pertahanan Negara.
Namun yang dirasakan masyarakat justru tindak kekerasan terhadap segala bentuk protes atau demonstrasi yang dilakukan berbagai kalangan, selain itu ABRI juga sering menyelesaikan berbagai konflik dengan kekerasan.
Penempatan ABRI di luar instansi militer serta keterlibatan dalam urusan politik dan sosial telah menyebabkan pola hubungan antara sipil dan militer yang semula setara berubah menjadi dominasi militer atas sipil.
Pilar struktur politik pada masa Orde Baru juga menunjukkan hubungan yang erat antara ABRI dan partai politik Golkar.
ABRI menjadi alat pelanggeng kekuasaan Presiden Soeharto dengan keterlibatan militer dalam upaya memenangkan Golkar dalam pemilihan umum.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR