Nationalgeographic.co.id—Dwifungsi ABRI telah memicu polemik di masyarakat sejak masa Orde Baru. Kala itu beberapa pihak menyoroti bahwa keterlibatan ABRI dalam politik dan sosial bertentangan dengan prinsip demokrasi karena terjadi dominasi militer terhadap sipil.
Tahun 1949-1959 sistem politik Indonesia menganut Demokrasi Liberal. Sistem ini didasarkan pada UUDS 1950. Pemerintah dikuasai oleh elite sipil.
Partai politik dipandang sebagai lembaga masyarakat yang tertenting bagi partisipasi rakyat dalam kehidupan nasional. Sebagai sebuah negara yang menganut system politik liberal, pemerintahan Indonesia dipegang oleh politisi sipil, terutama dari partai yang menang dalam pemilihan umum.
Sistem ini menolak keterlibatan militer dalam politik. Keterlibatan militer secara langsung merupakan gejala politik yang tidak disenangi dan selalu dicurigai oleh negara-negara yang menganut paham liberal.
Keterlibatan militer dianggap dapat mengganggu kehidupan politik karena terlibatnya orang-orang bersenjata di dalamnya, sehingga kompetisi tidak lagi berjalan dengan wajar.
Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
"Presiden Soekarno punya pertimbangan tersendiri kenapa ia menempatkan ABRI dalam tatanan sosial politik Indonesia," ungkap Anwar dalam makalah berjudul "Dwi Fungsi ABRI: Melacak Sejarah Keterlibatan ABRI dalam Kehidupan Sosial Politik dan Perekonomian Indonesia" yang dimuat di jurnal Adabiya.
"Para elite politik sipil dari berbagai partai politik pada saat itu dihadapkan pada kenyataan yang sangat berat dalam menyusun sebuah Undang-Undang Dasar Negara."
Pembicaraan mengenai ideologi berjalan alot antara PNI berpaham nasionalis yang mempertahankan UUD 1945 dengan kalangan Islam yang menghendaki Indonesia berideologi Islam serta kalangan Kristen dengan sistem negara sekuler. Perbedaan tersebut menimbulkan ketegangan sosial dan konfrontasi politik yang berlarut-larut.
Peralihan ke sistem Demokrasi Terpimpin yang di dalamnya mulai ditempati unsur-unsur militer ini salah satunya didasarkan pada konflik ideologis yang berujung pada pemberontakan daerah yang dilakukan oleh PRRI/Permesta.
Faktor ini menyebabkan perpecahan dalam tubuh ABRI, sehingga pimpinan ABRI di beberapa daerah melibatkan diri dalam pemberontakan daerah tersebut.
Baca Juga: Menguak Sosok yang Lebih Berkuasa dari Soeharto pada Zaman Orde Baru
Dampaknya adalah semakin kuatnya Soekarno untuk mengambil alih kekuasaan politik yang secara kebetulan diperlancar oleh kegagalan konstituante untuk menghasilkan sebuah konstitusi baru sebagai pengganti UUDS 1950.
Konsekuensinya adalah militer mendapat perhatian yang besar dari presiden. Salah satu prinsip Demokrasi Terpimpin adalah menyederhanakan kepartaian dengan mengurangi jumlah partai politik demi stabilitas negara.
Bebarapa organisasi dibubarkan, seperti Masyumi. Soekarno berseberangan dengan Hatta melalui Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 membentuk Sistem Parlementer.
Maklumat itu juga mengurangi kekuasaan Soekarno dan memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia untuk membentuk partai politik.
"Namun Soekarno tidak menyukai sistem parlementer. Ia lebih cenderung pada sistem presidensial. Ia menentang sistem multipartai," jelas Anwar.
Sikapnya ini menyebabkan Soekarno mencari format politik baru yang berbeda dengan demokrasi liberal di mana partai politik merupakan kekuatan politik yang menentukan.
Alasan sikap Soekarno yang anti partai adalah konflik antar partai politik yang berlarut-larut. Akibat ketidak percayaannya pada partai politik, akhirnya ia mencari penyeimbang untuk menandingi partai politik.
Inilah salah satu alasan baginya untuk mendekritkan kembali ke UUD 1945 dan member peluang kepada ABRI untuk berkiprah dalam bidang sosial politik.
Dwifungsi ABRI
Presiden Soekarno dan Jenderal A.H. Nasution merupakan dua tokoh penting yang melahirkan Dwifungsi ABRI.
Nasution memandang Dwifungsi ABRI dengan sebutan Jalan Tengah yang diucapkan dalam pidatonya pada Dies Natalis AMN (Akademi Militer Nasional).
Baca Juga: Soeharto Muda dan Sekitarnya yang Memengaruhi Masa Pemerintahannya
Pandangan ini disebut Jalan Tengah karena ABRI tidak diinginkan sebagai alat belaka dari pemerintahan yang dikuasai oleh politisi sipil.
Nasution juga menginginkan peran ABRI yang menguasai politik secara mutlak dan konsepsi Jalan Tengah Nasution kemudian dipertegas dengan adanya doktrin perjuangan TNI AD Tri Ubaya Cakti yang merupakan hasil seminar Angkatan Darat-I pada 2 September 1965.
Doktrin ini dipertegas lagi pada seminar Angkatan Darat-II di Bandung, 25-30 Agustus 1966. Melalui doktrin inilah untuk pertama kali dirumuskan Dwifungsi ABRI.
Era Rezim Orde Baru Soeharto
Keterlibatan ABRI dalam bidang sosial politik di kemudian hari berjalan di luar perkiraan kedua tokoh utama penggagas atau perintisnya (Soekarno-Nasution).
Dwifungsi yang diharapkan menjadi penyeimbang bagi partai politik ternyata pada masa Soeharto (Orde Baru) telah berjalan melampau sasarannya.
Pada masa ini peran partai politik berkurang, sebaliknya peran serta ABRI semakin meningkat. Dwifungsi ABRI yang semula diharapkan tidak lagi sebagai alat sipil semata, tetapi juga tidak sebagai rezim militer, ternyata pada masa Orde Baru memainkan peranan yang lebih jauh.
Pandangan Orde Baru sama dengan pandangan Orde Lama. Keterlibatan ABRI secara langsung dalam politik bertujuan untuk mencegah diambilnya keputusan-keputusan pollitik yang bertentangan dengan Pancasila, Proklamasi dan UUD 45.
Dengan cara itu, maka salah satu ciri-ciri pemerintahan Orde Baru adalah pelembagaan peran sosial politik ABRI. Selama ini pelaksanaan Dwifungsi ABRI lebih bersifat struktural, atau bersifat kuantitatif, di mana lahirnya ABRI sebagai kekuatan politik yang ditandai dengan duduknya anggota ABRI dalam berbagai jabatan pemerintah (eksekutif) baik di pusat maupun di daerah.
Lebih jauh, terdapat juga jatah khusus sejumlah anggota ABRI di lembaga legeslatif yang diangkat tanpa melalui prosedur Pemilu.
Kontroversi Dwifungsi ABRI
Secara konseptual Dwifungsi ABRI hakekat sebenarnya merupakan suatu pemikiran yang wajar, sebagaimana diungkap I Putu Nopa Suryawan dan I Ketut Laba Sumarjiana dalam Ideologi di Balik Doktrin Dwifusi ABRI yang dimuat jurnal Santiaji Pendidikan.
ABRI melakukan pengabdian kepada bangsa dan Negara secara total, baik di bidang pertahanan dan keamanan (Hankam) maupun bidang non-Hankam.
"Namun, dalam prakteknya di lapangan terjadi penyimpangan terhadap konsepsi semula," ungkap mereka.
Melalui konsep kekaryaan, peran militer yang mencolok dibuktikan dengan banyaknya perwira militer yang menduduki jabatan-jabatan politik dan pemerintahan.
Perwira-perwira militer, mulai dari menjadi Kepala Desa/Lurah, Camat, Bupati/Walikota, Gubernur, sampai menjadi menteri.
Selain itu, militer menduduki jabatan-jabatan lain yang seharusnya diduduki oleh birokrat sipil mulai dari Kepala Dinas, Kepala Kantor Departemen, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, sampai Sekretaris Jenderal.
Dwifungsi ABRI juga dijadikan sebagai alat kekuasaan oleh Presiden Soeharto, yang mengakibatkan rakyat kurang simpati kepada ABRI.
Orde Baru bertekad melaksanakan program pembangunan yang kesuksesannya menuntut adanya stabilitas keamanan.
Atas nama keamanan, Orde Baru kemudian memberikan tanggung jawab ini kepada ABRI.
ABRI kemudian mulai terlihat semena-mena, padahal tujuan utamanya untuk menjaga keamanan dan pertahanan Negara.
Namun yang dirasakan masyarakat justru tindak kekerasan terhadap segala bentuk protes atau demonstrasi yang dilakukan berbagai kalangan, selain itu ABRI juga sering menyelesaikan berbagai konflik dengan kekerasan.
Penempatan ABRI di luar instansi militer serta keterlibatan dalam urusan politik dan sosial telah menyebabkan pola hubungan antara sipil dan militer yang semula setara berubah menjadi dominasi militer atas sipil.
Pilar struktur politik pada masa Orde Baru juga menunjukkan hubungan yang erat antara ABRI dan partai politik Golkar.
ABRI menjadi alat pelanggeng kekuasaan Presiden Soeharto dengan keterlibatan militer dalam upaya memenangkan Golkar dalam pemilihan umum.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR