Nationalgeographic.co.id—“Ia membunuh saudara perempuannya, membantai kakak laki-lakinya, membunuh penguasa, meracuni ibunya. Ia dibenci oleh dewa dan manusia.” Demikianlah para sejarawan kontemporer mengecam satu-satunya kaisar wanita di Kekaisaran Tiongkok.
Para sejarawan mungkin akan mengabaikannya sama sekali jika bukan karena perubahan spektakuler yang ia lakukan pada Dinasti Tang. Sejarawan menyebutkan prestasinya. Di saat yang sama, mereka dengan lantang menceritakan kisah-kisah tentang penyiksaan, pesta pora, dan pembunuhan oleh Wu Zetian.
“Ia mungkin termasuk di antara penguasa Kekaisaran Tiongkok yang paling menonjol,” catat sejarawan John Keay. Namun ia diremehkan karena keterbatasan gender. Di situlah letak tragedi Wu Zetian.
Siapakah Wu Zetian?
Bagi sebagian orang, ia adalah negarawan brilian yang difitnah oleh kebencian terhadap wanita menurut ajaran Konfusianisme. Sebagian lainnya berpendapat bahwa ia adalah perampas kekuasaan yang berlumuran darah yang bersekongkol untuk meraih kekuasaan.
“Semuanya jatuh di hadapan alisnya yang seperti ngengat,” kata penyair kontemporer Luo Binwang. “Ia membisikkan fitnah dari balik lengan bajunya, dan menggoyahkan tuannya dengan rayuan wanita.”
Langkah pertamanya menuju kekuasaan datang dari keluarganya. Tidak seperti dinasti lainnya, Dinasti Tang menoleransi pendidikan bagi wanita. Ayah Wu Zetian adalah seorang adipati dan jenderal. Sang ayah memastikan pikiran aktif putrinya dipenuhi dengan karya klasik Konfusianisme dan berlatih musik, puisi, dan pidato.
Wu Zetian juga beruntung karena dilahirkan dengan kecantikan yang luar biasa. Hanya wanita tercantik di Kekaisaran Tiongkok yang dapat masuk ke harem kekaisaran. Sekitar tahun 636, pada usia 14 tahun, Wu Zetian bergabung dengan harem kekaisaran. Kaisar Taizong memberinya nama Meiniang, yang berarti wanita menawan.
Meskipun hanya seorang pembantu, Wu berhasil menarik perhatian kaisar. Ia membuatnya terkesan dengan kecerdasan dan pengetahuannya tentang sejarah Tiongkok. Kaisar mengangkat Wu menjadi sekretarisnya, memenangkan kekaguman dari banyak pejabat istana pria. Termasuk Pangeran Jin, putra kesembilan Taizong, yang dianggap terlalu lemah oleh ayahnya. Kemungkinan besar Wu menjadi kekasih baru sang pangeran.
Hubungan inilah yang membawanya keluar dari biara tempat ia dikurung saat kematian Taizong. Wu Zetian kembali sebagai permaisuri sang pangeran, Kaisar Gaozong yang baru dinobatkan. Ia kembali ke istana yang ramai. Pasalnya Gaozong sudah memiliki dua wanita yang bersaing untuk mendapatkan kasih sayangnya. Mereka adalah Permaisuri Wang dan Permaisuri Xiao.
Kedua permaisuri tersebut tiba-tiba dicopot dari jabatan mereka oleh Gaozong ketika ia mempercayai klaim Wu. Menurut Wu Zetian, keduanya telah membunuh bayi perempuannya yang baru lahir. Para sejarawan kemudian menuduh Wu Zetian membunuh bayi itu sendiri, menggunakan mayatnya untuk kudeta pertamanya.
Baca Juga: Kanal Besar, Mahakarya Jalur Air Peninggalan Kekaisaran Tiongkok
Dengan demikian, Wu menjadi permaisuri Gaozong pada tahun 655. Secara bertahap, ia mendapatkan kepercayaan untuk menangani semua urusan negara. Terutama setelah kaisar menderita strok yang melumpuhkan pada tahun 660. Gaozong duduk di singgasana di hadapan para menterinya seperti biasa saat mereka menasihatinya. Namun Wu Zetian duduk di balik layar, mendengarkan.
“Kenaikan pangkat atau penurunan pangkat, hidup atau mati, ditentukan oleh kata-kata Wu Zetian,” menurut sejarawan Dinasti Song Sama Guang dalam Zizhi Tongjian.
Mungkin Wu Zetian juga memiliki sifat yang kejam. Salah satu cerita dari Zizhi Tongjian menampilkan Wu Zetian saat diberi kuda yang tidak bisa dikendalikan oleh siapapun.
“Saya dapat mengendalikannya,” kata Wu Zetian. “Tetapi saya membutuhkan tiga hal: cambuk besi, gada besi, dan belati. Jika cambuk besi tidak berhasil, maka kepala akan dipukul dengan gada besi. Dan jika masih tidak menurut, maka tenggorokan akan dipotong dengan belati.” Kekuasaan, tampaknya, berasal dari rasa takut dan dominasi.
Kekaisaran Tiongkok pun ditaklukkan oleh Wu Zetian dalam waktu singkat. Seorang keponakan yang disukai Gaozong meninggal karena keracunan pada tahun 666. Putra sulungnya, yang mendukung musuh-musuhnya, meninggal secara misterius pada tahun 675. Gaozong meninggal pada tahun 683, tanpa diketahui dan sendirian. Kematian seperti itu merupakan hal yang aneh bagi Kaisar Tiongkok. Setelah itu, Wu Zetian mengangkat putra keduanya, Zhongzong, ke atas takhta.
Ia menggulingkan Zhongzong setelah 2 bulan. Wu Zetian pun mengangkat putra bungsunya, Ruizong. Namun, ia mengeksekusi istrinya atas tuduhan ilmu sihir dan kemudian menyerangnya. Pada tahun 690, atas perintah banyak pejabat istana dan bahkan kaisar sendiri, Wu Zetian naik takhta. Ia membentuk dinasti baru, yaitu Dinasti Zhou.
Wu Zetian menentang etika Konfusianisme
Seorang wanita yang memerintah sebuah kekaisaran merupakan ide yang mengejutkan. Berdasarkan etika Konfusianisme, kaum wanita hanya mampu melahirkan bayi. Namun Wu Zetian memperjuangkan kesetaraan yang lebih besar bagi wanita. Ia memerintahkan agar anak-anak yang berduka harus meratapi orang tua mereka secara setara, bukan hanya ayah mereka.
Ia menugaskan penulis untuk membuat antologi biografi tentang wanita-wanita terkemuka dalam sejarah Kekaisaran Tiongkok.
Meski ia adalah seorang wanita, perlawanannya keras dan tak kenal ampun. Wu Zetian menghancurkan banyak pemberontakan selama masa jabatannya. Terutama dari para pejabat Dinasti Tang yang tidak puas. Menurut Zizhi Tongjian, 36 menteri terbunuh pada tahun 690-an, seribu anggota keluarga mereka diperbudak.
Konon seorang menteri bertanya kepada Wu Zetian: siapa yang berani melamar menjadi pejabat ketika ia membunuh banyak pejabat? Wu Zetian menunggu hingga malam tiba dan memerintahkan api unggun dinyalakan. Ratusan ngengat tertarik ke cahaya itu dan terbakar. Ia menjelaskan bahwa selama ada sesuatu (gaji besar) yang menarik para kandidat, posisi-posisi ini tidak akan kosong dalam waktu lama.
Keluarga Dinasti Tang yang merepotkan juga tidak luput dari “serangan” Wu Zetian. Ia membasmi 12 cabang kecil setelah sebuah rencana kejahatan terhadapnya terungkap pada tahun 684. Menjelang akhir pemerintahannya, ia bahkan memerintahkan cucunya sendiri dan menantunya untuk bunuh diri setelah mereka terdengar mengkritik metodenya.
Mencari kekuatan dari rakyat Kekaisaran Tiongkok
Basis kekuatannya datang dari tempat lain: rakyat. Menetapkan kebijakan yang dihargai oleh rakyat akan memastikan mereka tetap berada di pihaknya. Kotak-kotak tembaga berdiri di ibu kota, tempat rakyatnya dapat menyampaikan saran dan kritik mereka. Kotak tersebut melompati berbagai tingkatan birokrasi, isinya dibaca oleh Wu Zetian sendiri.
Ia menggunakan kontinuitas di tengah semua perubahannya. Dinastinya dimaksudkan untuk kembali ke stabilitas selama 790 tahun dari Dinasti Zhou sebelumnya.
Salah satu sutra Buddha menubuatkan bahwa Boddhisatva Maitreya akan kembali ke Bumi dan membawa perdamaian universal, memerintah sebagai wanita. Di bawah pemerintahannya, panen akan melimpah, kegembiraan tanpa batas. Orang-orang akan berkembang, bebas dari kehancuran dan penyakit, kekhawatiran, ketakutan, dan bencana.
Wu Zetian pun segera menyatakan dirinya sebagai inkarnasi Maitreya. Ia menetapkan agama Buddha sebagai agama resmi kekaisaran. Wu Zetian bahkan menugaskan pembuatan patung Buddha perempuan di Dunhuang dan Luoyang.
Harga dari sebuah kekuasaan
Pemerintahannya sangat kompeten. Serangan militer melawan orang Tibet dan Korea memastikan perluasan militer. Wu Zetian bahkan mampu membuka kembali Jalur Sutra, yang sebelumnya hilang akibat perampok di bawah pemerintahan Taizong. Produktivitas pertanian mencapai titik tertinggi sepanjang masa melalui proyek irigasi dan sistem insentifnya. Peningkatan pesat jumlah rumah tangga yang terdaftar untuk pajak membengkakkan kas kekaisaran.
Ia mendukung meritokrasi, merombak sistem ujian kekaisaran dan meluncurkan ujian bagi para pemimpin militer. Hal ini merampas kekuasaan dari keluarga bangsawan, memastikan perekrutan dari sistem kelas bawah. Wu Zetian mewawancarai menteri sendiri, tradisi yang dilanjutkan oleh semua kaisar setelahnya. Ia menunjuk menteri yang cakap yang terus melayani lama setelah ia pergi.
Namun, pemerintahannya ditandai oleh paranoia yang meningkat seiring bertambahnya usia. Ia membentuk polisi rahasia yang sangat efisien dan mendorong para informan.
Pemerintahannya, menurut standar Konfusianisme, paling memalukan dan terburuk. Muncul legenda yang berusaha membuktikan sisi tidak wajarnya. Banyak yang bertanya-tanya: bagaimana mungkin seorang wanita bisa secara spektakuler menumbangkan hukum alam? Dia mungkin paling terkenal dan penuh kontroversi di Kekaisaran Tiongkok. Konon, Wu Zetian memotong tangan dan kaki Permaisuri Wang dan Permaisuri Xiao sebelum menenggelamkan mereka berdua ke dalam tong anggur. Namun, banyak sejarawan telah menunjukkan kesamaan cerita ini dengan kisah permaisuri sebelumnya yang licik, Lu Zhi.
Wu Zetian, pahlawan atau penjahat Kekaisaran Tiongkok?
Namun, ia telah dikaji ulang sejak awal abad ke-20, sehubungan dengan emansipasi wanita yang muncul bersama Gerakan Budaya Baru. Dorongannya untuk meritokrasi daripada oligarki membuatnya disukai oleh kaum Komunis: Guo Moruo. Menulis sebuah opera tentang hidupnya, Ketua Mao memuji keterampilan politiknya dan menjulukinya sebagai wanita yang luar biasa.
Apakah ia pahlawan atau penjahat? Smithsonian Magazine dengan menarik memaparkan ketidakmungkinanan untuk menjawab pertanyaan ini, sumber materinya tidak dapat ditelusuri karena bias.
Namun, dibutuhkan individu yang luar biasa untuk menjadi satu-satunya kaisar wanita dalam sejarah Kekaisaran Tiongkok. Dia mungkin harus melampaui apa yang dianggap dapat diterima atau diprediksi oleh sistem untuk mencapai tujuannya.
Namun, kurangnya dokumentasi sejarah membuatnya menjadi korban kebencian.
Saat ini, makam Wu Zetian ditandai oleh struktur trapesium abu-abu besar di Mausoleum Qianling. Mausoleum itu belum pernah dibuka sejak masa Dinasti Tang. Tidak seperti makam kaisar lainnya, prasasti di depannya — yang disediakan untuk mengukir daftar perbuatan besarnya — dibiarkan kosong. Mungkin Wu Zetian mengharapkan kesaksian tentang betapa berkesannya perbuatannya. Namun, kaum pria Konfusianisme membiarkannya kosong.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR