Terkait hal tersebut, Dr. Ir. Tungkot Sipayung pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), menyatakan bahwa kita memang tidak bisa menutup mata terkait adanya konflik lahan terkait industri kelapa sawit.
Hak-hak masyarakat, khususnya masyarakat adat, harus diperhatikan dengan baik. Jika masyarakat adat menolak, maka kita harus menghargai keputusan tersebut.
Jangan sampai memaksakan diri membangun perkebunan kelapa sawit di lahan yang sebenarnya sudah jelas-jelas ditolak oleh warga sekitar, terutama masyarakat adat.
“Kembalikan lahan kepada yang memiliki hak atas lahan tersebut. Mengembangkan sawit itu harus taat aturan,” ujar Tungkot saat ditemui National Geographic Indonesia, di Jakarta, Jumat (18/10/2024).
Hanya saja, perlu juga diperhatikan bahwa pada beberapa kasus, lahan-lahan sudah diserahkan oleh masyarakat adat, namun di kemudian hari malah diminta kembali oleh para keturunannya.
Intensifikasi yang semakin intensif
Salah satu upaya untuk mengurangi atau malah menghentikan laju deforestasi untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati melalui minyak kelapa sawit adalah dengan adanya program intensifikasi lahan.
Tungkot menekankan bahwa data terkait penurunan luas area deforestasi (yang dibahas di awal artikel) memang benar adanya. “Saat ini kita sudah mengerem pembukaan lahan baru kecuali untuk petani. Untuk korporasi bahkan sudah dihentikan,” jelasnya.
Untuk itulah, saat ini, banyak pengelola industri kelapa sawit yang lebih menekankan pada intensifikasi, alih-alih ekstensifikasi. Dengan cara ini, produktivitas ditingkatkan bukan dengan menambah luas perkebunan, melainkan dengan mengoptimalkan kebun yang sudah ada.
Apalagi, menurut Tungkot, sebenarnya perkebunan kelapa sawit itu bisa menghasilkan 8 ton CPO per hektar per tahun. Sementara saat ini yang baru tercapai masih pada kisaran 4 ton CPO per hektar per tahun. “Jadi masih ada gap 50% dari potensi!” ungkap Tungkot.
Baca Juga: Perusahaan Ini Ubah Limbah Pertanian jadi Alternatif Minyak Kelapa Sawit
KOMENTAR