Pemimpin simpanse ini mempertahankan urutan kekuasaan yang menentukan siapa yang akan kawin dengan siapa. Di kalangan simpanse, tindakan itu merupakan kebaikan politik populer yang diberikan kepada para pendukung.
Simpanse alfa tidak ditentukan berdasarkan kelahiran. Jadi mereka selalu waspada terhadap kemungkinan kudeta dari jantan yang ingin merebut kekuasaan. Akibatnya, banyak pemimpin simpanse menjadi penjahat yang mementingkan diri sendiri.
“Pemimpin bekerja sangat keras untuk mempertahankan status tinggi itu dengan meneror simpanse lain,” kata Michael Wilson, seorang ahli ekologi dari Universitas Minnesota. Wilson mempelajari hubungan kelompok di antara kera besar.
Membangun koalisi
Yang menarik, beberapa simpanse—terutama yang lebih kecil dan kurang agresif—menjadi pemimpin melalui strategi yang sama sekali berbeda. Mereka membangun koalisi.
Di Taman Nasional Gombe Stream di Tanzania, Wilson mempelajari simpanse alfa yang oleh para peneliti diberi nama Freud. Simpanse jantan ini tetap berkuasa dengan membangun ikatan dengan sesama simpanse.
Ia merawat dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan mereka. Simpanse jantan lain yang mengambil pendekatan ini bahkan telah diamati menggelitik bayi.
Dengan mempraktikkan kebaikan—dan beberapa politik kuno—Freud dihargai dengan kesetiaan. Ia mendapatkan keuntungan dari kekuasaan, seperti makanan, perawatan, dan peluang kawin.
Demokrasi melalui tarian
Ratu lebah madu menduduki takhta mereka dengan cara yang sangat kejam. Lebah pekerja menciptakan sekitar selusin calon ratu dengan memberi makan pekerja betina biasa dengan makanan khusus.
Kemudian para pekerja mundur dan membiarkan calon ratu bertarung satu lawan satu. Setiap pertarungan berakhir dengan kemenangan atau sengatan mematikan.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Ketika Suara Menjadi Senjata Andalan di Medan Tempur
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR