Nationalgeographic.co.id—Kolombia kini berhasil menjadi pionir dari sebuah program inovatif yang berfokus pada pelestarian mangrove. Proyek blue carbon mereka sudah diakui keberhasilannya dalam menyelamatkan lingkungan sekaligus menyejahterakan masyarakat lokal yang ada di sekitar proyek tersebut.
Terlebih, proyek ini juga mampu melibatkan masyarakat secara langsung sembari menggandeng berbagai pihak berkepentingan lainnya seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, hingga ilmuwan.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Lalu seberapa besar keuntungan yang diperoleh masyarakat? Apa kunci keberhasilannya? Mari kita simak uraiannya dalam artikel berikut.
Kerusakan dan harapan dari benteng alami
Ekosistem mangrove dengan kemampuannya menjadi benteng alami antara daratan dan lautan kini sudah banyak dipahami sebagai harta karun keanekaragaman hayati dunia. Ratusan spesies unik, dengan beberapa di antaranya berstatus terancam punah, menggantungkan hidupnya pada mangrove.
Di sisi lain, mangrove juga menjadi pelindung alami bagi 15 juta manusia di seluruh dunia. Beragam bencana alam seperti abrasi dan badai mampu diredam melalui mangrove. Sebuah hitungan ekonomi menyebutkan bahwa keberadaan mangrove mampu mengurangi kerugian akibat kerusakan properti sebesar AS$65 miliar.
Sayangnya, segala manfaat luar biasa dari mangrove tersebut terancam oleh beragam aktivitas manusia. Lihat saja bagaimana lebih dari setengah luas lahan mangrove yang masih bisa dipulihkan telah hilang (408.300 hektar).
Penebangan habis-habisan oleh manusia untuk berbagai tujuan seperti akuakultur, perkebunan kelapa sawit, dan pertanian padi, membuat lahan mangrove bak menguap begitu saja. Di sisi lain, perubahan iklim yang terjadi dengan sangat ekstrem telah membuat kerusakan tersebut terjadi semakin cepat.
Untungnya, menurut Emily Kelly, Lead, Blue Carbon, Ocean Action Agenda di World Economic Forum dan Paula Cristina Sierra-Correa, Head of Ocean Management Research and Information di INVEMAR di laman World Economic Forum, "Diperkirakan masih terdapat 147.000 kilometer persegi ekosistem mangrove di seluruh dunia, sebuah area seukuran Bangladesh."
Hutan biru
Hutan mangrove yang belakangan mulai dikenal dengan sebutan "hutan biru" memang telah mendapatkan perhatian global karena semakin besarnya kesadaran masyarakat tentang perannya dalam menghadapi perubahan iklim.
Baca Juga: Blue Carbon: Gara-gara Mikroplastik, 'Keperkasaan' Mangrove Bakal Terganggu
Kemampuannya untuk menyimpan karbon yang hingga lima kali lipat lebih besar dibandingkan dengan hutan hujan tropis semakin membuat mangrove menjadi aset yang semakin berharga.
Maka wajar rasanya jika komunitas lokal, lembaga swadaya masyarakat, ilmuwan, pemuda, hingga pemerintah saat ini memiliki pandangan yang sama dalam upaya untuk melindungi hutan biru tersebut.
Hal ini pula yang pada akhirnya membuat mangrove menjadi isu penting yang dibahas di berbagai forum internasional. Misalnya, sebelum Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB 2024 (COP16) di Kolombia, 83% pemerintah memasukkan mangrove dan lahan basah lainnya ke dalam rencana keanekaragaman hayati nasional mereka.
Demikian halnya menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29) di Azerbaijan, mangrove dan ekosistem pesisir lainnya dilaporkan menjadi bagian (66%) dari kontribusi nasional yang telah ditentukan di bawah Perjanjian Paris.
Lalu, mungkinkah kita menciptakan sebuah proyek karbon biru yang berkualitas tinggi sekaligus mampu menguntungkan dan memaksimalkan komunitas lokal? Mari kita simak pelajaran dari Kolombia.
Vida Manglar dan pendekatan lintas sektornya
Inisiatif Vida Manglar, yang berarti "kehidupan mangrove" dalam Bahasa Spanyol telah hadir sebagai sebuah contoh nyata sebuah program kolaborasi lintas sektor dalam upaya pelestarian dan rehabilitasi ekosistem mangrove.
Proyek ambisius tersebut, yang dilakukan di Teluk Cispatá di cekungan Sungai Sinú, Kolombia, merupakan hasil kerjasama antara pemerintah, lembaga penelitian, organisasi nirlaba, dan masyarakat lokal.
Mereka adalah Conservation International, Kementerian Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Kolombia, Yayasan Omacha, Instituto de Investigaciones Marinas y Costeras (INVEMAR), dan Corporación Autónoma Regional de los Valles del Sinú y del San Jorge.
Kelima unsur tersebut, dengan kerjasama yang apik, sanggup merancang sebuah model pengelolaan mangrove yang berkelanjutan dalam wujud Vida Manglar.
Tujuan utama dari proyek Vida Manglar sendiri adalah untuk melestarikan dan merehabilitasi 7.500 hektar ekosistem mangrove dengan ribuan hektar di antaranya merupakan hutan mangrove yang rusak.
Baca Juga: Apa Itu 'Blue Carbon'? Benarkah Lebih 'Sakti' dari 'Green Carbon'?
Salah satu hal yang paling menonjol dari Vida Manglar adalah keberhasilannya melibatkan masyarakat lokal di Cispata, yang jumlahnya mencapai 12.000 jiwa. Mereka semua sadar bahwa proyek tersebut tidak hanya melindungi pantai dan meningkatkan keamanan pangan, tapi juga memberikan peluang kerja.
Bahkan, ada 435 keluarga yang telah mendapatkan manfaat langsung melalui program insentif. Termasuk pelatihan keterampilan dan akses ke alternatif mata pencaharian yang berkelanjutan.
INVEMAR, salah satu mitra kunci dalam proyek ini, telah memainkan peran yang sangat penting dalam membangun kapasitas masyarakat. Melalui lebih dari 100 lokakarya dan sesi pelatihan, INVEMAR telah berhasil memberdayakan lebih dari 1.000 orang, termasuk perempuan (42%), untuk berperan aktif dalam pengelolaan mangrove.
Salah satu inovasi yang paling menarik dari proyek Vida Manglar adalah pemanfaatan mekanisme pendanaan karbon. Dengan menjual kredit karbon berkualitas tinggi di pasar karbon sukarela, proyek ini tidak hanya mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk kegiatan konservasi, tetapi juga menciptakan insentif bagi masyarakat untuk terus terlibat dalam upaya pelestarian mangrove.
"Dari kredit ini, 92% pendapatannya dikembalikan ke masyarakat. Model ini memungkinkan manfaat karbon ekosistem untuk mengarah pada investasi lebih lanjut dalam manfaat inti bagi masyarakat," jelas Kelly dan Sierra-Correa
Kuncinya kepemimpinan dan kolaborasi yang kuat
Upaya pelestarian dan rehabilitasi ekosistem mangrove tidak dapat dicapai secara individual, melainkan membutuhkan kolaborasi yang kuat antara berbagai pihak. Dialog lintas sektor, yang melibatkan komunitas lokal, pengembang proyek, pemerintah, pemodal, LSM, ilmuwan, dan pemangku kepentingan lainnya, menjadi kunci keberhasilan dalam meningkatkan kesehatan dan keberlanjutan hutan bakau.
Kolombia telah memberikan contoh yang baik dalam upaya pelestarian mangrove. Pada Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB (COP16), pemerintah Kolombia bersama dengan INVEMAR dan World Economic Forum meluncurkan National Blue Carbon Action Partnership.
Inisiatif ini merupakan langkah penting untuk mempercepat aksi karbon biru di Kolombia dan menyinergikan upaya pelestarian mangrove dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang lebih luas.
Keberhasilan Kolombia dalam melestarikan dan merehabilitasi hutan bakau memberikan harapan bagi negara-negara lain. Target global untuk melindungi 30% daratan dan lautan pada tahun 2030, yang disepakati dalam COP15, semakin dekat untuk dicapai.
Dengan mempercepat upaya konservasi dan restorasi mangrove yang digerakkan oleh masyarakat, kita dapat berkontribusi secara signifikan dalam mencapai target ambisius ini.
"Dengan kepemimpinan kuat dari masyarakat, komitmen pemerintah, dan dukungan lembaga keuangan, LSM, ilmuwan, dan ahli lainnya, ekosistem mangrove dapat mendukung komunitas, keanekaragaman hayati, dan planet yang sehat," pungkas Kelly dan Sierra-Correa.
KOMENTAR