Menurut Kasijanto Sastrodinomo dalam artikelnya yang diterbitkan Humas Universitas Indonesia pada 18 Maret 2006, menyebut bahwa "konsumsi minuman keras telah meluas di kalangan masyarakat."
Di Batavia, misalnya, pembuatan, penjualan, dan penggunaan minuman jenis itu sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan. Kawasan Senen disebut-sebut sebagai tempat jual-beli minuman beralkohol secara ilegal.
Kasijanto juga meneruskan, "demikian juga lokalisasi pelacuran (broedplat-sen) tidak salah lagi menjadi ajang hura-hura yang meruapkan bau alkohol." Tidak melulu gin, masyarakat juga mengenal minum keras lokal eperti arak atau ciu.
Dalam beberapa catatan kolonial di kawasan Subang, kesenian tari ronggeng sebagai media hiburan rakyat menjadi semakin kelam ketika mereka mulai mengenal dan mengonsumsi gin yang memabukkan.
Alhasil, dilakukan operasi pemberantasan minuman keras yang digelar dalam lima tahun sejak tahun 1920 hingga 1925. Operasi itu melibatkan pamong setempat, seperti lurah, camat, bahkan wedana, dan telik sandi penduduk desa. Para telik sandi dari kalangan masyarakat desa diberi iming-iming hadiah uang apabila berhasil memberikan informasi mengenai keberadaan pembuat arak atau minuman keras lain kepada polisi.
Menariknya, alih-alih pemberantasan minuman keras dilakukan oleh sejumlah pejabat, mulai dari lurah, wedana, hingga residen, para ”oknum” pejabat Belanda malah mendukung bisnis impor brendi dan jenever.
Jenever bergentayangan di Hindia, menjadi minuman umum yang dikonsumsi para pejabat hingga militer Belanda. Para budak diperjual-belikan, dan di antaranya ada jenever sebagai alat tukar perbudakan yang berlaku.
Salah satu makanan khas Belanda yang beredar di Hindia adalah hutspot. Makanan ini juga biasa dihidangkan dengan wortel, buncis, kentang dan bawang bombay. Akan lebih nikmat lagi jika dicampur dengan gin.
Lisa Kuitert menulis jurnal dalam Routledge Studies in Cultural History bertajuk Gatekeeping the News: Press Reports in the Koloniaal Tijdschrift Concerning the Dutch East Indies yang terbit pada 2024, tentang jenever dari catatan Walbeehm.
Walbeehm, seorang indolog yang menulis historiografinya tentang permasalahan alkohol yang beredar di Hindia Belanda. Menariknya, publikasinya itu diterbitkan menggunakan bahasa Jawa.
Berdasarkan statistik impor mengenai alkohol, dan khususnya jenever, Walbeehm menemukan bahwa semakin banyak alkohol yang dikonsumsi di Hindia Belanda. Ia menyebut bahwa alkohol pada permulaannya tidak pernah cocok dengan kondisi masyarakat Hindia.
Setidaknya, pelarangan alkohol terhadap penduduk asli seharusnya lebih mudah diterapkan karena alasan penduduknya yang mayoritas beragama Islam, tidak mengonsumsi minuman beralkohol.
Namun, pada kenyataannya, impor jenever dari Belanda tetap tidak terbendung. Terlebih, selain kehadiran orang-orang Eropa di Hindia, banyak juga etnik Tionghoa yang terbiasa mengonsumsi minuman keras. Standar ganda menjadi hal yang pada akhirnya terjadi.
Sampai hari ini, kisah tentang jenever di tanah koloni Belanda tersimpan rapi dalam Museum Jenever Schiedam. Artefak sejarah yang menyiratkan budaya dan industri minuman keras yang lekat dengan maraknya perbudakan.
Source | : | Historiek,Routledge Studies in Cultural History |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR