Nationalgeographic.co.id—Jenever, genever, atau disebut juga dengan gin, adalah minuman keras beraroma juniper, pohon yang tumbuh subur di Belanda. Sepanjang sejarahnya, Belanda telah berhasil memopulerkannya di hampir seluruh wilayah jajahannya.
Awalnya, minuman beralkohol Belanda diproduksi dengan cara menyuling anggur malt (moutwijn dalam bahasa Belanda) hingga kadar volume alkoholnya mencapai 50 persen. Namun, rasanya dianggap tidak enak karena kurangnya teknik penyulingan.
Maka, rempah ditambahkan untuk menutupi rasanya. Rempah itu adalah juniper yang dikenal memiliki khasiat sebagai obat. Atas alasan itulah "jenever" menjadi tengara namanya.
"Minuman beralkohol jenever yang terkenal memiliki sejarah panjang yang juga erat kaitannya dengan masa lalu kolonial Belanda," tulis dewan redaksi Historiek dalam artikel De rol van drank in de Nederlandse koloniale geschiedenis, terbitan 7 November 2024.
Jenever yang pernah dipandang sebagai simbol keahlian dan kekhasan Belanda itu menjadi produk ekspor bernilai, memainkan peran penting dalam aktivitas Belanda di luar negeri. Ketika Belanda memperluas pengaruhnya, gin sering kali mengikuti sampai ke Hindia.
Dalam kurun sejarah, menunjukkan bagaimana jenever digunakan sebagai alat pembayaran dalam perdagangan budak, bagaimana jenever memasok tentara kolonial dan bagaimana minuman menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Hindia.
Bahkan, adagium dari redaksi Historiek paling ekstrem menyebut: "perdagangan gin sejatinya mengungkap 'hubungan antara industri alkohol dan penindasan kolonial'."
Schiedam yang merupakan sebuah kota di Belanda, menjadi pusat penting produksi jenever pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas. Minuman ini dibawa oleh para kolonialis ke tanah jajahan mereka, paling banyak tersebar di Hindia Belanda dan Suriname.
Ketika gin sampai ke Hindia, ia dicampur dengan kina yang merupakan komoditas rempah terbesar sejak era VOC. Hingga abad kedua puluh, "gin merupakan satu-satunya pengobatan yang efektif untuk malaria, dilarutkan dan diminum dalam air tonik," tulis Lisa Lim.
Lisa Lim menulisnya kepada South China Morning Post dalam artikelnya bertajuk The story of gin, from its Dutch roots via London Gin to the gin and tonic, invented in British India to mask the bitter taste of anti-malaria medicine, terbitan 13 Juni 2023.
Dampaknya pun menjamur hingga ke berbagai lapisan dan kalangan, tak terkecuali para perwira militer. Lisa meneruskan bahwa untuk menutupi rasa pahit gin, perwira militer pada abad ke-19 akan menambahkan air, gula, jeruk nipis, dan gin.
Baca Juga: Benarkah Seseorang Menjadi Jauh Lebih Jujur Ketika Sedang Mabuk?
Menurut Kasijanto Sastrodinomo dalam artikelnya yang diterbitkan Humas Universitas Indonesia pada 18 Maret 2006, menyebut bahwa "konsumsi minuman keras telah meluas di kalangan masyarakat."
Di Batavia, misalnya, pembuatan, penjualan, dan penggunaan minuman jenis itu sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan. Kawasan Senen disebut-sebut sebagai tempat jual-beli minuman beralkohol secara ilegal.
Kasijanto juga meneruskan, "demikian juga lokalisasi pelacuran (broedplat-sen) tidak salah lagi menjadi ajang hura-hura yang meruapkan bau alkohol." Tidak melulu gin, masyarakat juga mengenal minum keras lokal eperti arak atau ciu.
Dalam beberapa catatan kolonial di kawasan Subang, kesenian tari ronggeng sebagai media hiburan rakyat menjadi semakin kelam ketika mereka mulai mengenal dan mengonsumsi gin yang memabukkan.
Alhasil, dilakukan operasi pemberantasan minuman keras yang digelar dalam lima tahun sejak tahun 1920 hingga 1925. Operasi itu melibatkan pamong setempat, seperti lurah, camat, bahkan wedana, dan telik sandi penduduk desa. Para telik sandi dari kalangan masyarakat desa diberi iming-iming hadiah uang apabila berhasil memberikan informasi mengenai keberadaan pembuat arak atau minuman keras lain kepada polisi.
Menariknya, alih-alih pemberantasan minuman keras dilakukan oleh sejumlah pejabat, mulai dari lurah, wedana, hingga residen, para ”oknum” pejabat Belanda malah mendukung bisnis impor brendi dan jenever.
Jenever bergentayangan di Hindia, menjadi minuman umum yang dikonsumsi para pejabat hingga militer Belanda. Para budak diperjual-belikan, dan di antaranya ada jenever sebagai alat tukar perbudakan yang berlaku.
Salah satu makanan khas Belanda yang beredar di Hindia adalah hutspot. Makanan ini juga biasa dihidangkan dengan wortel, buncis, kentang dan bawang bombay. Akan lebih nikmat lagi jika dicampur dengan gin.
Lisa Kuitert menulis jurnal dalam Routledge Studies in Cultural History bertajuk Gatekeeping the News: Press Reports in the Koloniaal Tijdschrift Concerning the Dutch East Indies yang terbit pada 2024, tentang jenever dari catatan Walbeehm.
Walbeehm, seorang indolog yang menulis historiografinya tentang permasalahan alkohol yang beredar di Hindia Belanda. Menariknya, publikasinya itu diterbitkan menggunakan bahasa Jawa.
Berdasarkan statistik impor mengenai alkohol, dan khususnya jenever, Walbeehm menemukan bahwa semakin banyak alkohol yang dikonsumsi di Hindia Belanda. Ia menyebut bahwa alkohol pada permulaannya tidak pernah cocok dengan kondisi masyarakat Hindia.
Setidaknya, pelarangan alkohol terhadap penduduk asli seharusnya lebih mudah diterapkan karena alasan penduduknya yang mayoritas beragama Islam, tidak mengonsumsi minuman beralkohol.
Namun, pada kenyataannya, impor jenever dari Belanda tetap tidak terbendung. Terlebih, selain kehadiran orang-orang Eropa di Hindia, banyak juga etnik Tionghoa yang terbiasa mengonsumsi minuman keras. Standar ganda menjadi hal yang pada akhirnya terjadi.
Sampai hari ini, kisah tentang jenever di tanah koloni Belanda tersimpan rapi dalam Museum Jenever Schiedam. Artefak sejarah yang menyiratkan budaya dan industri minuman keras yang lekat dengan maraknya perbudakan.
Source | : | Historiek,Routledge Studies in Cultural History |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR