Hal tersebut memungkinkan mereka bertindak sebagai penguasa de facto di wilayahnya, yang sering kali mendorong pemberontakan terhadap otoritas pusat.
Tidak seperti di era Cyrus yang Agung, di mana para satrap lebih tunduk kepada raja, di bawah Darius dan penerusnya, mereka mulai memberontak secara terbuka.
Pemberontakan menjadi semakin sering, terutama pada masa pemerintahan Artaxerxes II, yang menghadapi tantangan besar berupa Pemberontakan Satrap Besar pada 366-360 SM.
Para satrap di Asia Kecil dan Suriah bangkit melawan kekuasaan Artaxerxes II, didukung oleh firaun Mesir yang ingin melemahkan Persia.
Meskipun pemberontakan ini akhirnya dipadamkan oleh Artaxerxes III, kekacauan tersebut melemahkan integritas kekaisaran lebih jauh dan membuatnya rentan terhadap ancaman eksternal.
Satrap Persia setelah Alexander Agung
Pada tahun 334 SM, Alexander Agung dari Makedonia memulai invasi yang akan mengakhiri Kekaisaran Akhemeniyah. Dalam waktu singkat, Alexander menaklukkan Persia, mengakhiri era kekuasaan dinasti Akhemeniyah dan membuka jalan bagi Kekaisaran Seleukia.
Meskipun Persia berada di bawah kekuasaan baru, struktur pemerintahan mereka, termasuk peran satrap, tetap dipertahankan. Namun, makna satrap berubah. Di bawah Kekaisaran Seleukia, satrap tidak lagi hanya sebagai gubernur provinsi, tetapi juga sebagai komandan militer yang disebut strategos dalam bahasa Yunani.
Ketika Alexander meninggal dunia pada usia muda, ia tidak meninggalkan pewaris yang siap memimpin kekaisaran besar yang ia bangun. Ketiadaan penerus yang jelas memicu perebutan kekuasaan di antara jenderal-jenderalnya, yang dikenal sebagai Perang Diadochi atau Perang Suksesi.
Konflik ini berlangsung selama tiga dekade dan menghasilkan tiga dinasti besar yang memerintah wilayah kekaisaran yang telah terpecah.
Satrapi Helenistik
Dalam periode setelah kematian Alexander, setiap jenderal mengklaim wilayah tertentu dan memerintahnya dengan cara yang mirip dengan para satrap di era Persia. Namun, satrap di bawah Diadochi jauh lebih kecil dan lebih terfragmentasi dibandingkan dengan struktur pemerintahan di masa Kekaisaran Akhemeniyah.
Tiga dinasti utama—Seleukia, Ptolemaik di Mesir, dan Antigonid di Yunani—menguasai wilayah mereka dengan membagi-baginya menjadi satrap yang lebih kecil untuk mempermudah pengelolaan.
Namun, kekuasaan para Diadochi tidak bertahan lama. Secara perlahan, satu per satu wilayah mereka ditaklukkan oleh kekuatan baru, termasuk Kekaisaran Parthia yang mulai bangkit.
Meski jabatan satrap terus ada dalam berbagai bentuk, kejayaannya sebagai bagian dari sistem kekuasaan Persia kuno memudar seiring dengan bergantinya penguasa dan zaman.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR