Nationalgeographic.co.id—Dalam dunia Persia kuno, istilah "satrap" digunakan untuk menyebut gubernur yang memimpin sebuah provinsi, atau yang disebut "satrapi".
Satrapi merupakan pembagian teritorial Kekaisaran Persia Akhemeniyah, yang memungkinkan kekaisaran besar ini dikelola secara lebih efektif. Para satrap ditunjuk langsung oleh raja dan diberikan tanggung jawab penting, seperti mengumpulkan pajak, menjaga ketertiban, dan memastikan kesetiaan penduduk terhadap raja.
Meski mereka memiliki otoritas besar di wilayah masing-masing, kekuasaan mereka tetap berada di bawah kendali raja, sehingga mereka harus bertanggung jawab penuh kepada raja.
Rachel Lockett dalam The Satraps of Ancient Persia: The Guardians of the Realm yang dimuat dalam laman History Cooperative menjelaskan bahwa istilah satrap berasal dari kata Persia kuno khshathrapavan, yang berarti "penjaga kerajaan."
"Meski pada sekarang istilah ini kadang memiliki konotasi negatif, menggambarkan penguasa yang korup di negara satelit, perannya dalam Kekaisaran Persia adalah kunci untuk menjaga stabilitas di wilayah yang sangat luas," ungkap Rachel.
Satrap tidak hanya dikenal dalam pemerintahan Persia Akhemeniyah, tetapi juga sudah digunakan oleh bangsa Media sebelumnya. Sistem ini kemudian diwariskan ke dinasti-dinasti besar seperti Parthia dan Sassaniyah, menjaga tradisi administrasi yang terpusat bahkan setelah jatuhnya Akhemeniyah akibat invasi Alexander Agung.
"Bangsa Media sebenarnya adalah pelopor sistem satrapi. Mereka membagi kerajaan mereka ke dalam wilayah-wilayah yang dipimpin oleh satrap, yang memerintah layaknya raja kecil di bawah pengawasan raja pusat," jelasnya.
Namun, ketika Cyrus yang Agung, pendiri Kekaisaran Persia Akhemeniyah, menaklukkan bangsa Media pada tahun 550 SM, peran satrap mengalami perubahan besar.
Orang-orang Akhemeniyah memiliki kepercayaan bahwa raja memerintah berdasarkan kehendak ilahi, sebuah konsep yang mengukuhkan posisi raja sebagai wakil para dewa di bumi. Akibatnya, satrap tetap memiliki peran sebagai gubernur, tetapi kekuasaan mereka semakin diawasi dan diatur oleh raja.
Kemunculan dinasti Akhemeniyah dimulai ketika Cyrus yang Agung, yang berasal dari salah satu satrapi Kekaisaran Media, melancarkan pemberontakan melawan kakeknya, penguasa Media.
Setelah merebut kekuasaan pada tahun 550 SM, Cyrus mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai Raja Segala Raja (shahanshah) dan memulai era baru dalam sejarah Persia.
Baca Juga: Kaligrafi dan Kecantikan Seni Kekaisaran Ottoman yang Legendaris
Ia kemudian membagi wilayah kekaisaran yang luas menjadi 26 provinsi atau satrapi. Masing-masing satrapi dipimpin oleh seorang satrap yang menjalankan pemerintahan atas nama raja, memastikan bahwa wilayah yang baru ditaklukkan tetap stabil dan terkendali.
"Sistem satrapi ini bukan hanya inovasi administrasi, tetapi juga cerminan dari ambisi besar Kekaisaran Akhemeniyah untuk memadukan keragaman budaya dan tradisi di bawah satu pemerintahan yang terpusat," papar Rachel.
Dengan pembagian kekuasaan yang terorganisir ini, Persia mampu mempertahankan kontrol atas wilayah yang membentang dari Asia Tengah hingga Laut Tengah selama berabad-abad.
Peran satrap dalam Kekaisaran Persia sangat penting dan penuh tanggung jawab. Sebagai gubernur yang ditunjuk langsung oleh raja, mereka memegang kendali atas tanah dan rakyat yang berada dalam wilayah satrapi mereka.
Satrap bertugas melindungi wilayahnya dari ancaman luar, menegakkan hukum sebagai hakim tertinggi, serta mengumpulkan pajak yang kemudian disetorkan sebagai upeti tahunan kepada raja.
Mereka juga bertanggung jawab atas stabilitas daerah yang mereka pimpin, termasuk mengangkat dan memberhentikan pejabat lokal serta menumpas pemberontakan yang berpotensi mengancam kekuasaan pusat.
Namun, memberikan kekuasaan yang begitu besar kepada satrap juga menimbulkan risiko, terutama karena otonomi ini bisa memicu ambisi pribadi yang berbahaya bagi kestabilan kekaisaran.
Untuk mengatasi risiko ini, raja menerapkan pengawasan ketat terhadap para satrap. Salah satu mekanisme kontrol utama adalah pengiriman seorang pejabat khusus yang dikenal sebagai "mata raja."
Sekretaris kerajaan ini bertugas melakukan inspeksi rutin ke setiap satrapi, biasanya setahun sekali, untuk memastikan para satrap tetap setia kepada raja dan menjalankan tugasnya sesuai perintah pusat.
Selain itu, para satrap tidak memerintah sendirian. Mereka didampingi oleh sebuah dewan penasihat Persia yang juga bertanggung jawab langsung kepada raja.
Untuk mencegah para satrap menjadi terlalu kuat, Cyrus yang Agung membagi tanggung jawab di setiap satrapi dengan menunjuk dua pejabat penting lainnya: kepala keuangan provinsi (Ganzabara) dan kepala militer, yang keduanya melapor langsung kepada raja. Dengan cara ini, kekuasaan satrap terpecah, sehingga tidak ada satu figur yang mampu mengendalikan semua aspek pemerintahan di wilayahnya.
Baca Juga: Prasasti Behistun: Pesan Darius I bagi Kekaisaran Persia dan Dunia
Kadang-kadang, satrapi yang lebih besar dibagi lagi menjadi beberapa wilayah yang lebih kecil. Sub-wilayah ini juga dipimpin oleh satrap bawahan yang bertanggung jawab kepada satrap utama.
Struktur ini memberikan fleksibilitas dalam mengelola daerah yang beragam secara budaya, agama, dan etnis. Kekaisaran Persia, yang terbentuk melalui berbagai penaklukan, menjadi tempat meleburnya identitas-identitas ini.
Para raja berusaha memadukan keberagaman tersebut ke dalam sistem pemerintahan yang terpusat namun tetap menghormati kekhasan lokal.
Pada masa pemerintahan Darius yang Agung, peran satrap semakin diperkuat. Darius memperluas wilayah kekaisaran dan menciptakan 10 satrapi baru, sehingga totalnya menjadi 36 provinsi.
Ia juga memperkenalkan sistem pajak yang lebih terstruktur, di mana jumlah upeti yang dibayarkan oleh setiap satrapi dihitung berdasarkan potensi ekonomi dan jumlah penduduknya. Reformasi ini bertujuan untuk meningkatkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi di seluruh kekaisaran.
Namun, meskipun reformasi Darius membawa beberapa keuntungan, mereka tidak sepenuhnya berhasil mencegah melemahnya kekaisaran.
Ketidakpuasan di beberapa wilayah tetap memicu pemberontakan, yang pada akhirnya berkontribusi pada kemunduran Kekaisaran Persia di masa-masa berikutnya. Peran satrap, meskipun vital, menjadi bagian dari tantangan besar dalam mempertahankan kendali atas kekaisaran yang begitu luas dan kompleks.
Melemahnya Kekaisaran
Melemahnya Kekaisaran Akhemeniyah di bawah pemerintahan Darius Agung menandai awal dari masa sulit bagi kekuasaan pusat Persia. Meski Darius berusaha memperkuat kendali atas wilayahnya, kekuasaan raja mulai kehilangan otoritasnya.
Hal ini membuka jalan bagi otonomi yang lebih besar di antara para satrap, yang secara perlahan mulai memperkuat posisi mereka sendiri di wilayah masing-masing.
Seiring melemahnya kekuasaan pusat, para satrap mendapatkan kebebasan lebih besar, termasuk memimpin militer provinsi mereka.
Baca Juga: Muslihat 'Dwifungsi ABRI' ala Pasukan Militer Kekaisaran Ottoman
Hal tersebut memungkinkan mereka bertindak sebagai penguasa de facto di wilayahnya, yang sering kali mendorong pemberontakan terhadap otoritas pusat.
Tidak seperti di era Cyrus yang Agung, di mana para satrap lebih tunduk kepada raja, di bawah Darius dan penerusnya, mereka mulai memberontak secara terbuka.
Pemberontakan menjadi semakin sering, terutama pada masa pemerintahan Artaxerxes II, yang menghadapi tantangan besar berupa Pemberontakan Satrap Besar pada 366-360 SM.
Para satrap di Asia Kecil dan Suriah bangkit melawan kekuasaan Artaxerxes II, didukung oleh firaun Mesir yang ingin melemahkan Persia.
Meskipun pemberontakan ini akhirnya dipadamkan oleh Artaxerxes III, kekacauan tersebut melemahkan integritas kekaisaran lebih jauh dan membuatnya rentan terhadap ancaman eksternal.
Satrap Persia setelah Alexander Agung
Pada tahun 334 SM, Alexander Agung dari Makedonia memulai invasi yang akan mengakhiri Kekaisaran Akhemeniyah. Dalam waktu singkat, Alexander menaklukkan Persia, mengakhiri era kekuasaan dinasti Akhemeniyah dan membuka jalan bagi Kekaisaran Seleukia.
Meskipun Persia berada di bawah kekuasaan baru, struktur pemerintahan mereka, termasuk peran satrap, tetap dipertahankan. Namun, makna satrap berubah. Di bawah Kekaisaran Seleukia, satrap tidak lagi hanya sebagai gubernur provinsi, tetapi juga sebagai komandan militer yang disebut strategos dalam bahasa Yunani.
Ketika Alexander meninggal dunia pada usia muda, ia tidak meninggalkan pewaris yang siap memimpin kekaisaran besar yang ia bangun. Ketiadaan penerus yang jelas memicu perebutan kekuasaan di antara jenderal-jenderalnya, yang dikenal sebagai Perang Diadochi atau Perang Suksesi.
Konflik ini berlangsung selama tiga dekade dan menghasilkan tiga dinasti besar yang memerintah wilayah kekaisaran yang telah terpecah.
Satrapi Helenistik
Dalam periode setelah kematian Alexander, setiap jenderal mengklaim wilayah tertentu dan memerintahnya dengan cara yang mirip dengan para satrap di era Persia. Namun, satrap di bawah Diadochi jauh lebih kecil dan lebih terfragmentasi dibandingkan dengan struktur pemerintahan di masa Kekaisaran Akhemeniyah.
Tiga dinasti utama—Seleukia, Ptolemaik di Mesir, dan Antigonid di Yunani—menguasai wilayah mereka dengan membagi-baginya menjadi satrap yang lebih kecil untuk mempermudah pengelolaan.
Namun, kekuasaan para Diadochi tidak bertahan lama. Secara perlahan, satu per satu wilayah mereka ditaklukkan oleh kekuatan baru, termasuk Kekaisaran Parthia yang mulai bangkit.
Meski jabatan satrap terus ada dalam berbagai bentuk, kejayaannya sebagai bagian dari sistem kekuasaan Persia kuno memudar seiring dengan bergantinya penguasa dan zaman.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR