Nationalgeographic.grid.id—Ada banyak jenis metode diet yang kini populer bagi masyarakat Indonesia. Ada diet yang mengatur waktu makan, ada yang berbasis sayuran dan buah tanpa konsumsi daging, ada yang membatasi asupan lemak, dan ada yang fleksibel mengatur komposisi nutrisi. Lalu, yang mana diet terbaik untuk kita?
Ketua Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI), Khoirul Anwar, mengungkapkan bahwa pemahaman soal diet perlu diluruskan terlebih dahulu. “Orang berpikir bahwa diet berarti mengurangi berat badan. Padahal, sebenarnya diet berarti mengatur pola makan. Secara ilmiah, pola makan yang baik itu yang menerapkan gizi seimbang”
Belum lama ini Eathink merilis panduan makan sehat dan berkelanjutan yang disebut SELARAS (Seimbang, Lokal, Alami, Beragam, dan Sadar). Eathink adalah sebuah platform dari Foodsustainesia untuk membantu generasi milenial memilih produk makanan dan menanamkan kesadaran tentang pentingnya keberlanjutan pangan.
“Seimbang dalam hal komposisi zat gizi, menggunakan bahan pangan lokal, meminimalkan zat kimia dalam bahan pangan, mengedepankan keragaman bahan pangan dalam satu piring, dan menerapkan mindful eating,” kata CEO dan Co-founder Eathink, Jaqualine Wijaya, seperti dikutip dari keterangan tertulis Eathink.
Tak perlu dibuat rumit, pola makan sehat dan juga ramah lingkungan bisa diadopsi dengan mudah tanpa harus mengeluarkan banyak uang.
Pilih makanan yang bersumber dari sekitar kita
Banyak orang Indonesia suka membaca rekomendasi bahan makanan dari sumber informasi luar negeri. Akibatnya, menurut padangan mereka, pangan bergizi tinggi antara lain adalah salmon dan whole grain yang bukan asli Indonesia.
“Padahal, whole grain tidak menjadi produk utama di Indonesia. Kita juga bukan penghasil utama ikan salmon. tapi kita kaya akan banyak jenis ikan di Indonesia selain salmon,” kata Khoirul.
Ia menjelaskan, ketika berbicara soal kacang-kacangan, orang akan berpikir tentang almond. Padahal, negeri kita punya kacang hijau yang harganya murah mempunyai nilai gizi yang tinggi.
“Hanya saja, orang memilih almond karena lebih bergengsi. Bahan pangan pengganti yang setara itu banyak. Masalahnya, ketika orang tidak terpapar terhadap bahan tersebut, maka dia tidak tahu bahwa makanan itu ada.”
Seto Nurseto, finalis Masterchef Indonesia dan Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran, menjelaskan bahwa makan merupakan bentuk adaptasi manusia untuk bertahan hidup, yang berpengaruh terhadap kebiasaan makan di setiap daerah di Indonesia.
Baca Juga: Mengapa Indonesia Tergantung pada Beras dan Mengapa Ini Berbahaya?
Ia mencontohkan, konsumsi ayam pada masyarakat di kepulauan akan lebih sedikit daripada konsumsi hasil laut. Dan, setiap daerah akan mengembangkan makanan dan kearifan pangan dari komoditas lokal mereka.
“Tradisi dan kepercayaan juga memengaruhi apa yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh suatu kelompok masyarakat. Misalnya, satu daerah melarang konsumsi sidat (ikan bertumpuh panjang ramping), karena mereka beranggapan bahwa sidat merupakan kerabat jauh mereka," tutur Seto. "Ada juga yang menganggap sidat adalah hewan keramat yang hidup di mata air, sehingga harus dijaga dengan baik."
Bicara soal pangan lokal, Khoirul menerangkan, kelokalan itu bisa berdasarkan komoditas setempat. Sebutlah, daerah Bogor punya kacang bogor. Hal tersebut menjadi nilai positif, karena masyarakat Bogor memanfaatkan potensi pangan di daerahnya.
“Kelokalan juga terkait budaya, yaitu dalam bentuk makanan khas. Inilah yang biasanya dimaksimalkan oleh setiap daerah,” terangnya.
Makanan olahan tak selalu salah
Seto menyebutkan, setiap kelompok masyarakat mempunyai cara sendiri dalam mengolah makanan sesuai pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki. Dalam konteks budaya, itulah proses terbaik di daerah tersebut.
Contohnya, dari sumber daya yang berlimpah, masyarakatnya akan membuat olahan untuk menambah usia penyimpanan makanan.
“Misalnya, olahan fermentasi mandai di Banjarmasin. Mandai terbuat dari kulit cempedak yang difermentasi untuk menambah umur simpan. Mereka juga mempunyai suplai ikan air tawar yang melimpah, sehingga mengembangkan olahan fermentasi iwak makasam,” ucap Seto.
Khoirul menambahkan, masyarakat Indonesia memiliki beragam budaya makan dengan berbagai proses pemasakan makanan. “Proses pengolahan makanan memang bisa menurunkan zat gizi, walaupun sebenarnya kita dapat menambahkan zat gizi yang hilang."
"Bicara soal proses fermentasi, kandungan gizi dalam makanan yang difermentasi masih bagus," tegas Khoirul. "Namun, ketika makanan fermentasi itu diolah lagi dengan cara digoreng, kandungan gizinya jadi berbeda. Walaupun, bahan pangannya sama.”
Ia menekankan, makanan olahan tidak selalu salah. Sebab, memproses makanan sebenarnya merupakan bagian dari kebutuhan kita untuk memperpanjang daya simpan suatu makanan.
“Yang menjadi masalah adalah kita terpapar oleh beragam processed food dengan berbagai karakter berbeda. Kita harus punya awareness yang tinggi dalam memilah makanan yang aman dan bergizi.”
Banyak orang berpendapat bahwa makanan sebaiknya dimasak sendiri. Namun, Khoirul melihat, pada kenyataannya tidak semua orang punya waktu yang cukup untuk memasak.
Menurutnya, memasak itu bukan hanya urusan memproses bahan makanan saja. Proses memasak dimulai dari belanja, menyimpan bahan, mempersiapkan bahan, memasak, hingga menyimpan makanan yang berlebih.
Coba tanam sendiri sumber pangan kita
Pada 2022 International Food Information Council (IFIC) mengadakan Menurut Survei Makanan dan Kesehatan terhadap Gen Z. Survei itu mengungkap, lima puluh persen Gen Z mengatakan bahwa pilihan makanan dan minuman mereka memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap lingkungan.
Salah satu yang dikenal punya dampak baik terhadap lingkungan adalah bahan pangan organik, yang praktik pertaniannya tidak merusak lingkungan. Produk yang diklaim organik mempunyai sertifikasi dan label tersendiri. Inilah yang membuat harga suatu bahan pangan jadi melonjak. Solusinya apa?
“Kalau ingin bahan pangan yang sehat dan murah, tanam sendiri saja,” kata Jaqualine.
Secara sederhana, bercocok tanam dengan prinsip agroekologi bisa dipraktikkan di lingkungan rumah. Bila Anda memiliki kebun kecil di rumah, tanamlah dengan berbagai jenis tanaman.
Konsep agroekologi ini tak memerlukan halaman yang luas. “Hanya saja, ada sejumlah prinsip yang perlu diterapkan. Salah satunya tidak memakai pupuk kimia yang berpotensi merusak tanah dan menurunkan produksi hasil kebun.”
Salah satu tujuan agroekologi adalah menjaga biodiversitas. “Saat ini sebagian orang Indonesia cenderung mengonsumsi satu jenis pangan pokok, meskipun kita memiliki keberagaman sumber pangan lokal lain, khususnya konsumsi beras sebesar 13-46 kali lebih banyak dibandingkan jenis lain," kata Jaqualine. "Kita perlu menerapkan keragaman dalam piring kita agar biodiversitas terjaga.”
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR